- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kekuatan Mukjizat Al-Qur’an dalam Dakwah Nabi Muhammad

Google Search Widget

Nabi Muhammad adalah utusan terakhir Allah yang diutus untuk menyampaikan risalah agama Islam. Dalam perjalanan dakwahnya, beliau sering menghadapi tantangan berat dari para penentang, terutama kaum musyrik Makkah. Mereka tidak ragu untuk menghina, mencerca, serta menggunakan berbagai cara, termasuk kekerasan, untuk menghentikan penyebaran Islam. Namun, Nabi Muhammad tidak pernah gentar dan terus berjuang untuk menyebarkan ajaran Islam.

Kaum musyrik Makkah juga sering kali ‘menguji’ kebenaran Nabi Muhammad dengan mengajukan permintaan yang tidak biasa. Beberapa di antara mereka meminta agar Nabi mengubah bukit Shafa menjadi emas, menghidupkan kembali leluhur mereka, atau memberikan informasi mengenai waktu terjadinya kiamat. Mereka menuntut bukti-bukti nyata atau mukjizat seperti yang diberikan kepada umat-umat sebelumnya untuk meyakinkan diri mereka.

Namun, Allah tidak memenuhi permintaan-permintaan tersebut dan justru menjadikan Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad. Dalam Al-Qur’an Surat al-Isra ayat 59, Allah menjelaskan mengapa permintaan mereka tidak dikabulkan. Ayat tersebut menyatakan bahwa seandainya Allah membuka pintu langit dan mereka terus-menerus masuk ke dalamnya, mereka akan tetap meragukan kebenaran dan beranggapan bahwa diri mereka sedang disihir.

Permintaan-permintaan yang diajukan oleh kaum musyrik Makkah tidak menjamin mereka akan menerima kebenaran Islam. Jika permintaan tersebut dipenuhi, mereka mungkin masih memiliki alasan lain untuk menolak. Allah telah memberikan penjelasan tentang hal ini dalam firman-Nya.

Selain itu, dalam buku “Membaca Sirah Nabi Muhammad saw Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih,” disebutkan bahwa alasan lain mengapa Allah tidak memenuhi permintaan mereka adalah karena sasaran dakwah yang berbeda. Sasaran dakwah Nabi Muhammad berbeda dengan umat-umat nabi sebelumnya dalam hal perkembangan kedewasaan masyarakat.

Nabi-nabi terdahulu memiliki mukjizat yang bersifat inderawi dan material, seperti tongkat Nabi Musa yang dapat berubah menjadi ular atau penyembuhan yang dilakukan oleh Nabi Isa. Sebaliknya, mukjizat terbesar Nabi Muhammad adalah Al-Qur’an yang bersifat imateriel dan logis. Ini disebabkan oleh dua faktor utama.

Pertama, sasaran dakwah dan waktu. Nabi-nabi terdahulu diutus untuk masyarakat dan waktu tertentu, sehingga mukjizat yang diberikan hanya berlaku bagi mereka. Sementara itu, Nabi Muhammad diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, sehingga mukjizatnya bersifat universal dan dapat diterima oleh siapa pun dan kapan pun.

Kedua, perkembangan pemikiran manusia. Manusia telah melalui berbagai fase dalam memahami dunia. Pada fase awal, mereka mengaitkan segala sesuatu dengan kekuatan dewa atau tuhan yang mereka ciptakan. Lalu, pada fase berikutnya, mereka mulai menafsirkan fenomena dengan prinsip-prinsip dasar hingga akhirnya memasuki fase ilmiah di mana pengamatan dan penelitian menjadi pendekatan utama.

Karena perkembangan pemikiran ini, umat nabi-nabi terdahulu membutuhkan bukti yang konkret dan dapat dirasakan oleh indera. Oleh sebab itu, mukjizat mereka bersifat material seperti tidak terbakar oleh api atau kemampuan menyembuhkan penyakit. Sementara itu, umat Nabi Muhammad yang telah memasuki fase ilmiah membutuhkan bukti logis dan akal sehat. Allah kemudian menjadikan Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar yang tak tertandingi oleh siapapun, baik dari kalangan manusia maupun jin, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an Surat al-Isra: 88 dan Yunus: 38.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 10

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?