- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kejujuran dalam Kehidupan Manusia

Google Search Widget

Ibadah yang dimulai dari individu seharusnya diiringi dengan sikap jujur dan kejujuran yang juga berangkat dari diri masing-masing. Kejujuran tidak hanya berdampak pada kehidupan pribadi, tetapi juga berpengaruh luas pada masyarakat. Setiap langkah, ucapan, dan perilaku manusia harus menjunjung tinggi nilai kejujuran.

Dalam khutbahnya, Prof KH Nasaruddin Umar mengutip sabda Nabi Muhammad yang menekankan pentingnya memulai perubahan dari diri sendiri, “ibda’ bi nafsik.” Al-Qur’an pun mengingatkan bahwa setiap individu akan dimintai pertanggungjawaban atas diri mereka sendiri, sebagaimana dinyatakan dalam ayat “kafa bi nafsik al-yauma hasiba.”

Penegasan dari Nabi Muhammad dan wahyu Allah SWT tersebut menunjukkan bahwa setiap orang sejatinya lebih mengetahui apakah dirinya menjadi penyebab konflik melalui kebohongan yang disebarkan. Di era digital saat ini, di mana informasi mudah diakses dan disebarluaskan, kejujuran menjadi lebih penting dari sebelumnya.

Nabi Muhammad SAW mendapat julukan al-Amin oleh kaum Quraisy pra-Islam, yang berarti orang yang dapat dipercaya. Hal ini mencerminkan karakter jujur beliau yang menjadi teladan bagi masyarakat. Sejak muda, Muhammad sering berdagang dan dikenal sebagai pedagang yang sangat jujur, tidak pernah menipu baik pembeli maupun majikannya.

Ketika berdagang, Muhammad tidak pernah mengurangi timbangan atau takaran, dan selalu memberikan janji yang realistis tanpa bersumpah palsu. Semua transaksi dilakukan atas dasar sukarela dan saling menghormati. Suatu ketika, dalam sebuah perselisihan dengan pembeli di Syam, Muhammad dengan tegas menolak untuk bersumpah demi berhala Lata dan Uzza, karena ia tidak pernah melakukannya sebelumnya. Kejujuran beliau menjadi prinsip yang dipegang teguh tanpa perlu melibatkan Tuhan.

Prinsip kejujuran yang diterapkan oleh Muhammad muda ini kontras dengan fenomena keagamaan simbolik yang sering kita jumpai saat ini. Agama sering kali dijadikan simbol tanpa diwujudkan dalam akhlak sehari-hari. Banyak yang memahami agama secara hitam-putih dan menawarkan surga secara murah, bahkan menggunakan nama Tuhan dalam politik demi kepentingan kelompok tertentu.

Dimensi sosial tidak bisa dipisahkan dari ibadah seorang Muslim. Keshalehan individual akan memiliki makna jika dapat diwujudkan dalam keshalehan sosial. Contohnya, ibadah puasa yang bersifat pribadi akhirnya harus diakhiri dengan pengeluaran zakat, sebuah ibadah yang memiliki dimensi sosial.

Begitu pula shalat yang merupakan ibadah individual, tetap berakhir dengan salam dan memperhatikan lingkungan sekitar. Ini menunjukkan bahwa ibadah vertikal harus diimbangi dengan tindakan horizontal agar tercipta kehidupan yang harmonis dan bermakna.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 21

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?