Nabi Muhammad diutus untuk mengislamkan orang kafir, bukan untuk mengkafirkan sesama manusia, apalagi sesama Muslim. Dalam proses dakwahnya, akhlak luhur dan mulia menjadi landasan utama Nabi di hadapan masyarakat yang beragam, mulai dari rakyat jelata hingga pejabat dan raja, serta menjadi teladan bagi sahabat dan kelompok-kelompok dari berbagai agama.
Mengetahui hidup di tengah suku, bangsa, dan agama yang beragam, Nabi Muhammad memberikan perhatian khusus saat hijrah ke Yatsrib (Madinah) sekitar tahun 622 M. Bersama para sahabatnya, beliau hijrah dari Makkah ke Madinah pada tahun ke-13 masa kenabian, setelah berdakwah di Makkah selama 13 tahun. Peristiwa hijrah ini kemudian menjadi dasar perhitungan tahun hijriah.
Setelah tiba di Madinah, Nabi menyampaikan risalah Tauhid dan memimpin umat Islam. Masyarakat Madinah yang bersifat plural membutuhkan kepemimpinan yang mampu merangkul semua kelompok. Di sini, Nabi Muhammad berupaya mewujudkan masyarakat yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur. Untuk itu, dibuatlah kesepakatan yang dikenal sebagai Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah), yang terdiri dari 47 pasal yang mengatur kehidupan bersama warga bangsa di Madinah.
Nabi Muhammad memberikan inspirasi kepada umat Islam tentang cara membangun sistem pemerintahan Islami berdasarkan kesepakatan bersama. Namun, beliau tidak pernah menetapkan bentuk pemerintahan politik yang baku untuk diikuti oleh para penerusnya. Sejarah mencatat bahwa tidak ada mekanisme politik yang standar bagi pergantian pemerintahan di masa Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Ironisnya, hanya Abu Bakar yang meninggal secara wajar, sedangkan Umar, Utsman, dan Ali meninggal terbunuh. Ini menunjukkan risiko besar dalam kepemimpinan khalifah yang seringkali menimbulkan konflik dan gesekan baik dari segi pandangan keagamaan maupun kebijakan politik.
Keempat sahabat ini merupakan khalifah besar setelah wafatnya Nabi Muhammad. Mereka menjunjung tinggi kepemimpinan Nabi yang selalu melakukan musyawarah dan tidak menunjuk keluarganya sebagai pengganti. Hal ini berbeda jauh dengan sistem pemerintahan khilafah model Dinasti Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan seterusnya, yang ditentukan berdasarkan monarkhi absolut. Oleh karena itu, sistem khilafah, imamah, atau imarah dapat dipahami sebagai ijtihad politik yang sesuai pada masanya dan mungkin tidak relevan dengan konteks kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.
Mitsaq al-Madinah menjadi bukti otentik dalam sejarah peradaban Islam bahwa negara pertama yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW adalah negara kesepakatan (Darul Mitsaq), bukan negara Islam dalam pengertian formal atau khilafah seperti yang dipahami oleh kelompok Hizbut Tahrir dan ISIS. Oleh karena itu, tidak bisa otomatis dikatakan bahwa khilafah ISIS atau kampanye Hizbut Tahrir adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, karena tindakan kelompok ISIS justru bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang mengedepankan kasih sayang.
Demikian pula dengan Hizbut Tahrir yang ingin mengubah dasar negara Pancasila dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pancasila merupakan konsensus kebangsaan yang disepakati oleh para pendiri bangsa, termasuk ulama dan aktivis Islam. Mereka memahami agama dan fiqih siyasah sehingga negara berdasarkan Pancasila tidak bertentangan dengan syariat Islam. Sebaliknya, syariat dan nilai-nilai Islam justru menghidupkan Pancasila. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial adalah nilai-nilai universal Islam yang terkandung dalam Pancasila.
Jika khilafah ‘ala minhajin nubuwwah dipahami sebagai sistem pemerintahan yang mengikuti jejak kenabian, maka Indonesia bisa dikatakan mempraktikkannya. Nabi Muhammad mendirikan negara kesepakatan (Darul Mitsaq) bersama umat beragama dan suku-suku di Madinah berdasarkan Piagam Madinah. Hal ini paralel dengan Indonesia yang juga memiliki konsensus kebangsaan berupa Pancasila. Semua bangsa di dalamnya dilindungi oleh negara selama tidak melanggar kesepakatan dan hukum yang berlaku.
Teladan Nabi Muhammad dalam membangun negara Madinah berdasarkan perjanjian dan kesepakatan bersama telah menginspirasi para ulama pendiri bangsa Indonesia bersama tokoh nasionalis untuk menyusun dasar negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945.