Sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad SAW sering melakukan kesepakatan dengan berbagai pihak untuk mengatasi konflik dan perang bersenjata, termasuk dengan kaum kafir Quraisy di Makkah. Upaya mencegah dan memulihkan konflik ini dilakukan semata-mata untuk kepentingan kaum Muslimin secara luas dan jangka panjang, meskipun dianggap merugikan oleh sebagian sahabat. Salah satu contoh rekonsiliasi yang dilakukan Nabi adalah Perjanjian Hudaibiyah yang terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 hijriah, sekitar tahun 628 Masehi. Hudaibiyah sendiri merupakan sebuah sumur yang berjarak sekitar 22 kilometer dari barat daya Kota Makkah.
Peristiwa ini terjadi ketika Rasulullah beserta rombongan kaum Muslimin berniat melaksanakan umroh. Meskipun mengetahui bahwa kaum kafir Quraisy akan menghalanginya, Rasulullah tetap melanjutkan niat tersebut. Dalam perundingan dengan kaum kafir Quraisy, keputusan Rasulullah dipandang tidak populis oleh para sahabatnya. Bahkan Umar bin Khattab enggan menuliskan perjanjian tersebut karena dianggap tidak adil dan melecehkan simbol-simbol akidah Islam saat itu, di mana akidah Islam harus diperkuat di tengah kekejaman kaum kafir Quraisy.
Guru Besar bidang Tafsir KH Nasaruddin Umar dalam Khutbah-khutbah Imam Besar (2018) mencatat bahwa saat perundingan gencatan senjata antara umat Islam dan kaum kafir Quraisy, Rasulullah memimpin delegasi Islam, sementara pihak kafir Quraisy dipimpin oleh diplomat ulung bernama Suhail. Dalam pembukaan naskah perjanjian, Rasulullah meminta diawali dengan kata “bismillahirrahmanirrahim”, namun ditolak oleh Suhail yang menganggap kalimat tersebut asing. Suhail kemudian mengusulkan kalimat “bismika allahumma”, yang lebih dikenal di kalangan masyarakat Arab saat itu.
Sebagai penutup, perjanjian tersebut diusulkan dengan kalimat “hadza ma qadha ‘alaihi Muhammad Rasulullah”. Namun, Suhail kembali menolak dan menggantinya dengan “hadza ma qudhiya ‘alaihi Muhammad ibn Abdullah”. Penolakan ini membuat para sahabat Nabi merasa tersinggung dan menolak perjanjian tersebut. Meski begitu, Rasulullah meminta mereka untuk menyetujui naskah perjanjian itu. Konon, beliau sendiri yang menuliskan naskah perjanjian karena para sahabat tidak tega mencoret kata “Rasulullah”, suatu hal yang dianggap penting dalam menegakkan akidah Islam saat itu.
Beberapa sahabat juga mencatat kelemahan dalam substansi perjanjian ini. Misalnya, jika orang kafir Quraisy melanggar batas wilayah Muslim di Madinah, mereka akan segera dibebaskan, sementara umat Islam yang melanggar batas akan ditahan di Makkah. Namun, Nabi Muhammad dengan keyakinan dan pertimbangan matang setuju dengan materi perjanjian tersebut. Mengenai pencoretan kata “basmalah” dan “Rasulullah”, Nabi menilai itu sebagai batas maksimum yang dapat dilakukan untuk mencegah jatuhnya korban jiwa akibat peperangan yang lebih besar.
Nabi memahami konsekuensi yang akan dihadapi umat Islam jika gencatan senjata tidak dilakukan. Beliau yakin bahwa langkah-langkah selanjutnya akan memperkuat akidah umat Islam. Pada akhirnya, apa yang ditetapkan oleh Nabi terbukti benar. Jika orang-orang kafir Quraisy ditahan di Madinah, itu akan menambah beban ekonomi bagi masyarakat Madinah yang sudah kebanjiran pengungsi dari Makkah. Sebaliknya, mereka yang ditahan di Makkah tidak akan diperbolehkan masuk karena dikhawatirkan dapat mempengaruhi suku-suku di masyarakat Quraisy.
Dalam diplomasi Hudaibiyah, Nabi mencapai kesuksesan luar biasa di kemudian hari. Semua ini berasal dari kemampuan untuk menahan diri dalam meraih keuntungan jangka pendek demi keuntungan yang lebih besar di masa depan. Dalam menghadapi situasi sulit, kita seharusnya mencontoh sikap dan perilaku Rasulullah yang tidak mudah terbawa emosi serta memandang jauh ke depan demi kepentingan umat secara luas.