Perang Khandaq, juga dikenal sebagai Perang Ahzab, merupakan salah satu peperangan yang diikuti langsung oleh Nabi Muhammad. Sebelum peperangan dimulai, atas usulan Salman al-Farisi, Nabi Muhammad memimpin para sahabat untuk menggali parit di luar Kota Madinah. Tujuan dari penggalian parit ini adalah untuk menghalau serangan pasukan musuh yang berjumlah besar. Tercatat, ada sekitar 10 ribu pasukan aliansi yang dipimpin oleh Yahudi Madinah dan kaum musyrik Makkah, berserta kabilah Ghatafan dan Bani Sulaim, yang siap menyerang umat Islam di Madinah. Jumlah tersebut bahkan lebih banyak dibandingkan dengan total jumlah penduduk Madinah pada saat itu.
Nabi Muhammad memerintahkan agar setiap sepuluh orang laki-laki menggali parit sepanjang 40 hasta. Beliau terus memantau perkembangan proyek ini setiap hari. Dalam riwayat Anas, diceritakan bahwa pada suatu pagi yang sangat dingin, Nabi Muhammad pergi ke parit untuk memeriksa sejauh mana kemajuan penggalian. Jika ada sahabat yang menemui tanah keras, Nabi Muhammad tidak segan untuk ikut mencangkul dan berhasil menghancurkan tanah tersebut dengan doa dan usaha yang sungguh-sungguh.
Ketika pasukan musuh sudah berada di luar Kota Madinah, Nabi Muhammad dan pasukan Muslim yang berjumlah tiga ribu orang keluar untuk menghadapi mereka. Saat musuh berencana menyerang, mereka terkejut melihat parit yang besar dan panjang di depan mereka. Akibatnya, mereka tidak langsung menyerang dan memilih untuk mengepung pasukan Muslim.
Pasukan musyrik Quraisy terus mencari cara untuk melewati parit tersebut, namun semua usaha mereka gagal. Pengepungan berlangsung selama beberapa hari dan membuat pasukan Muslim sibuk melakukan serangan balik ketika musuh mencoba menyeberangi parit. Dalam situasi ini, Nabi Muhammad dan pasukan Muslim tidak sempat melaksanakan Shalat Ashar.
Dikisahkan bahwa Sayyidina Umar bin Khattab mengeluhkan keadaan tersebut kepada Nabi Muhammad, “Ya Rasulullah, aku tidak sempat Shalat Ashar hingga matahari hampir terbenam.” Nabi Muhammad menjawab, “Demi Allah, aku juga belum shalat.” Beliau kemudian berwudhu dan melaksanakan Shalat Ashar setelah matahari terbenam, di waktu Shalat Maghrib. Setelah itu, beliau langsung menyambungnya dengan Shalat Maghrib.
Ada pelajaran penting di balik tindakan Nabi Muhammad yang menunda Shalat Ashar saat Perang Khandaq. Menurut Said Ramadhan al-Buthi dalam bukunya “The Great Episodes of Muhammad saw”, tindakan tersebut menunjukkan pentingnya meng-qadha (mengganti) shalat yang terlewatkan. Al-Buthi menegaskan bahwa meskipun ada pendapat ulama yang menyatakan bahwa penundaan shalat hanya berlaku pada saat itu dan telah dihapus (nasakh) ketika shalat khauf disyariatkan, kewajiban qadha tetap berlaku.
Dengan kata lain, kebolehan menunda shalat tidak menghapus kewajiban untuk meng-qadha shalat yang tertinggal. Di samping itu, shalat khauf sudah disyariatkan sebelum Perang Khandaq berlangsung, yaitu pada Perang Dzat al-Riqa’. Dalam Musnad Ahmad dan Asy-Syafi’i, disebutkan bahwa Nabi Muhammad dan pasukan Muslim tidak sempat melaksanakan Shalat Dzhuhur, Shalat Ashar, Shalat Maghrib, dan Shalat Isya selama perang berlangsung. Mereka kemudian melaksanakan shalat-shalat yang tertinggal secara bersamaan atau men-jama’-nya.
Sebagaimana dijelaskan oleh an-Nawawi dalam kitabnya “Sharh Muslim”, Perang Khandaq berlangsung selama beberapa hari dengan cara men-jama’ shalat yang berbeda-beda pada setiap harinya. Pelajaran dari peristiwa ini menunjukkan betapa pentingnya memahami kondisi dan situasi dalam melaksanakan ibadah.