- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Tragedi Ar-Raji dan Bir Ma’unah: Awal Mula Qunut Petaka

Google Search Widget

Qunut nazilah atau yang dikenal sebagai ‘qunut petaka’ adalah doa yang diamalkan oleh umat Islam ketika menghadapi masalah berat seperti keamanan, bencana alam, atau tragedi kemanusiaan. Meskipun doanya berbeda, praktik qunut nazilah mirip dengan qunut yang dibaca dalam Shalat Subuh, dilaksanakan sebelum sujud atau setelah i’tidal di rakaat terakhir setiap shalat wajib. Kesunahan qunut nazilah berlaku khusus dalam shalat lima waktu dan dianjurkan dibaca selama bencana masih menimpa umat Islam. Jika bencana telah berlalu, maka tidak disunnahkan lagi.

Nabi Muhammad SAW adalah orang pertama yang mengamalkan qunut nazilah, yang dipicu oleh tragedi ar-Raji dan Bir Ma’unah. Dalam kedua peristiwa tersebut, utusan umat Islam yang dikirim Nabi Muhammad untuk mengajarkan Islam kepada Suku ‘Adhal/’Udhul dan al-Qarah, serta penduduk Nejd, mengalami pembantaian. Pada bulan Shafar tahun ke-4 Hijriyah, utusan suku tersebut datang meminta Nabi Muhammad mengirimkan beberapa sahabat untuk mengajarkan Islam di wilayah mereka. Nabi Muhammad kemudian mengutus sepuluh sahabat – dalam riwayat lain disebutkan enam orang – termasuk Ashim bin Tsabit sebagai ketua delegasi.

Setibanya di desa ar-Raji, utusan Nabi Muhammad dikepung oleh Bani Lahyan, yang sebelumnya meminta bantuan. Mereka menawarkan untuk tidak membunuh jika utusan bersedia menyerah. Ashim bin Tsabit dan beberapa lainnya menolak menyerah dan dieksekusi di tempat. Zaid bin Datsinah, Abdullah bin Thariq, dan Khubaib bin Adi bersedia menyerah dan dijual sebagai budak di Makkah, di mana mereka akhirnya juga dibunuh sebagai balasan atas kematian tokoh musyrik Makkah dalam Perang Badar.

Beberapa waktu kemudian, Abu Bara’ Amir bin Malik Mula’ib al-Asinnah dari Bani Amir mendatangi Nabi Muhammad dan meminta agar beliau mengirimkan sahabat untuk mengajarkan Islam di wilayah Najd. Meski awalnya ragu karena takut akan nasib yang sama menimpa utusannya, Abu Bara’ meyakinkan Nabi Muhammad dengan jaminan perlindungan (jiwar). Nabi Muhammad akhirnya mengutus 70 orang yang dikenal sebagai ‘al-Qurra’. Namun, utusan yang dipimpin Al-Mundzir bin Amir ini dibunuh oleh Amir bin Thufail saat tiba di Bir Ma’unah. Hanya satu orang, Amr bin Umayyah al-Dhamri, yang selamat dan kembali ke Madinah untuk melaporkan tragedi tersebut kepada Nabi Muhammad.

Kedua tragedi ini sangat menyedihkan Nabi Muhammad, terutama karena terjadi hampir bersamaan. Sebagaimana tercantum dalam buku tentang sejarah Nabi Muhammad, beliau berdoa agar Allah membalas pengkhianat tersebut selama sebulan penuh setiap Shalat Subuh. Doa ini kemudian menjadi dikenal sebagai qunut nazilah atau ‘qunut petaka’ dan terus diamalkan hingga saat ini, khususnya ketika umat Islam menghadapi ujian berat.

Penting untuk dicatat bahwa pengkhianatan tidak dilakukan oleh Abu Bara’, orang yang meminta Nabi mengirim utusan, tetapi oleh anak saudaranya, Amir bin Thufail. Setelah tragedi itu, Abu Bara’ memerintahkan anaknya untuk membunuh Amir bin Thufail sebagai kompensasi atas kegagalan jaminan perlindungan yang diberikan sebelum itu. Amir bin Thufail terluka setelah ditikam oleh Rabiah, anak Abu Bara’, dan berusaha membunuh Nabi Muhammad di Madinah. Namun dalam perjalanan, Amir tertular penyakit dan meninggal di padang pasir.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?