- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kepemimpinan Pasca-Wafatnya Nabi Muhammad

Google Search Widget

Umat Islam mengalami guncangan besar saat Nabi Muhammad saw. wafat pada 12 Rabiul Awwal tahun ke-11 H atau 3 Juni 632 M. Banyak di antara mereka yang tidak percaya akan kehilangan tersebut, sehingga Sayyidina Abu Bakar berdiri di tengah-tengah umat untuk menyampaikan pidato yang menenangkan. Ia mengutip QS. Ali-Imran ayat 144, mengingatkan bahwa Muhammad hanyalah seorang Rasul dan mendorong umat untuk tetap bersyukur kepada Allah.

Setelah wafatnya Nabi, umat Islam merasa kehilangan sosok panutan yang selama ini menjadi sumber teladan. Tidak ada seorang pun yang diakui sebagai pemimpin tertinggi dalam bidang agama maupun sosial-politik. Dalam situasi seperti itu, muncul pertanyaan mengenai siapa pengganti Nabi Muhammad saw. Hal ini memicu perpecahan menjadi dua kelompok: Muhajirin (umat Islam dari Makkah) dan Anshar (umat Islam dari Madinah). Kedua kelompok merasa berhak untuk mengisi posisi pemimpin tertinggi umat.

Musyawarah berlangsung di Saqifah Banu Sa’idah, di mana elit umat Islam dari kedua kelompok mengusulkan kandidat pengganti. Dari kelompok Muhajirin muncul nama-nama seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, dan Sayyidina Abu Ubaidah bin Jarrah, sementara dari Anshar ada Sa’ad bin Ubadah. Keduanya saling mempertahankan argumen mengenai siapa yang lebih berhak.

Setelah perdebatan yang cukup sengit, Sayyidina Abu Bakar akhirnya terpilih sebagai pengganti Nabi Muhammad saw. Sayyidina Umar bin Khattab meminta Abu Bakar untuk membentangkan tangannya agar dapat dibaiat. Umar menjadi orang pertama yang memberikan baiatnya, disusul oleh sahabat-sahabat lain yang hadir di sana. Sementara itu, Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan beberapa keluarga lainnya tengah mengurus jenazah Nabi Muhammad saw.

Setelah jenazah dimakamkan, umat Islam mengantarkan baiat kepada Sayyidina Abu Bakar. Dalam pidato pertamanya sebagai Khalifah, Abu Bakar meminta umat untuk taat kepadanya selama ia taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, jika ia melanggar perintah Allah, maka umat tidak perlu lagi mengikutinya.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah benar Sayyidina Ali tidak bersedia atau terlambat memberikan baiat kepada Sayyidina Abu Bakar? Atau mungkin ia memberikan ikrar bersamaan dengan umat Islam lainnya saat Abu Bakar menyampaikan pidatonya sebagai Khalifah? Pertanyaan ini masih menjadi bahan diskusi di kalangan umat Islam hingga kini.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 10

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?