Menurut riwayat yang masyhur, Nabi Muhammad saw. menerima wahyu pertama, yaitu Surat al-‘Alaq ayat satu sampai lima, dari malaikat Jibril pada malam ke-17 Ramadhan, bertepatan dengan 6 Agustus 610 M di Gua Hira. Setelah kejadian tersebut, Nabi Muhammad saw. pulang dengan ketakutan dan gemetaran, lalu meminta Sayyidah Khadijah, istrinya, untuk menyelimutinya. Beliau menceritakan semua pengalamannya di Gua Hira kepada sang istri, termasuk pertemuannya dengan malaikat Jibril yang memaksanya untuk membaca (iqra’). Sayyidah Khadijah berusaha menenangkan dan membesarkan hati suaminya.
Sayyidah Khadijah kemudian mengajak Nabi Muhammad saw. untuk bertemu dengan Waraqah bin Naufal, anak pamannya yang merupakan penganut agama Nasrani dan sudah mengenal Bibel. Setelah mendengar cerita Nabi Muhammad saw., Waraqah yakin bahwa beliau adalah nabi yang diutus Allah. Waraqah menjelaskan bahwa sosok yang datang kepada Nabi Muhammad saw. di Gua Hira adalah an-Namus (Jibril), sama seperti yang datang kepada Musa. Ia juga memperingatkan bahwa Nabi Muhammad saw. akan mengalami penolakan, gangguan, pengusiran, dan peperangan dari kaumnya sendiri. Waraqah menyatakan, “Jika aku mencapai masa itu dan usiaku panjang, aku akan membelamu dengan kuat.”
Meskipun demikian, Nabi Muhammad saw. masih merasakan keraguan di dalam hati. Sayyidah Khadijah tetap meyakinkan suaminya bahwa sosok yang datang di Gua Hira adalah malaikat, bukan setan. Setelah wahyu pertama turun, malaikat Jibril tidak segera turun lagi untuk menyampaikan wahyu selanjutnya. Terdapat masa jeda antara turunnya wahyu pertama dan yang berikutnya. Beberapa pendapat muncul mengenai lamanya masa jeda ini; ada yang berpendapat selama tiga tahun, dua setengah tahun, enam bulan, atau hanya tiga hari.
Dalam buku “Membaca Nabi Muhammad dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih” oleh M Quraish Shihab (2018), selama penantian itu, Nabi Muhammad saw. tetap merasa takut dan bimbang setelah menerima wahyu pertama. Menurut Quraish Shihab, wahyu memang pernah terhenti, tetapi tidak dalam waktu yang lama. Tujuannya adalah untuk menghilangkan rasa takut yang dialami Nabi Muhammad saw. saat menerima wahyu pertama serta menimbulkan kerinduan akan wahyu yang kedua. Quraish Shihab tidak sependapat dengan hadits riwayat Bukhari yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. sangat sedih hingga berniat bunuh diri ketika wahyu terhenti. Ia mengemukakan dua alasan ketidaksepakatan: pertama, hadits tersebut seolah menggambarkan masa terhentinya wahyu begitu lama, padahal ada riwayat yang menyebutkan hanya beberapa hari; kedua, Imam Bukhari tidak menjelaskan siapa yang menyampaikan informasi dalam hadits tersebut.
Dalam buku “Sejarah Hidup Muhammad” oleh Muhammad Husain Haekal (2015), dijelaskan bahwa saat wahyu terhenti, Nabi Muhammad saw. merasa terasing dari orang-orang dan mengalami ketakutan yang mirip dengan sebelum wahyu turun. Beliau merasa ditinggalkan Allah setelah dipilih-Nya. Keterangan dalam buku “Sirah Nabawiyah” oleh Syekh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri (2012) juga menunjukkan bahwa saat wahyu terhenti, Nabi Muhammad saw. merasa kaget dan bingung serta terdiam dalam keadaan sedih. Namun demikian, semua ketakutan dan kecemasan beliau sirna ketika wahyu kedua turun.
Terkait wahyu kedua, para ulama memiliki pendapat yang berbeda. Ada yang beranggapan bahwa wahyu kedua adalah QS al-Mudatsir 1-5, sementara yang lain menyatakan bahwa wahyu kedua adalah awal Surat al-Qalam. Waallahu ‘Alam.