Pada tahun 622 M, Nabi Muhammad SAW dan umat Islam diperintahkan oleh Allah untuk berhijrah ke Yatsrib, yang kemudian dikenal sebagai Madinah. Kota ini terletak sekitar 450 kilometer ke utara Makkah. Proses hijrah dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan berpencar agar tidak terdeteksi oleh kaum musyrik Quraisy. Perintah berhijrah ini datang setelah Nabi Muhammad SAW menyebarkan ajaran Islam di Makkah selama 13 tahun, terutama setelah wafatnya dua pelindungnya, Abu Thalib pada tahun 619 M dan Sayyidah Khadijah pada tahun 620 M. Keduanya adalah sosok penting yang mendukung Nabi dalam dakwah Islam.
Dengan wafatnya Abu Thalib dan Khadijah, kaum Quraisy semakin berani memusuhi Nabi Muhammad SAW dan umat Islam, sehingga kondisi mereka semakin sulit. Perintah untuk berhijrah ke Madinah menjadi dilema bagi Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya. Di satu sisi, mereka merasa senang dapat terlepas dari gangguan kaum musyrik Makkah dan berpeluang mendapatkan saudara baru di Madinah. Namun di sisi lain, mereka merasa sedih harus meninggalkan kampung halaman, kerabat yang belum memeluk Islam, serta harta benda yang dimiliki.
Hijrah dari Makkah ke Madinah diikuti oleh hampir seluruh umat Islam, meskipun ada beberapa yang tetap tinggal di Makkah, seperti Sayyidah Zainab, putri sulung Nabi Muhammad SAW. Proses hijrah ini sangat berat dan berisiko tinggi. Kaum musyrik Makkah terus memburu Nabi Muhammad SAW dan umat Islam selama perjalanan menuju Madinah. Berbagai upaya dilakukan untuk mengelabui kaum musyrik, termasuk berangkat pada tengah malam, menghapus jejak kaki, dan memilih rute yang berbeda.
Di balik ketegangan proses hijrah ke Madinah, terdapat kisah penuh hikmah. Dalam buku “Akhlak Rasul Menurut Al-Bukhari dan Muslim” yang ditulis oleh Abdul Mun’im al-Hasyimi, diceritakan bahwa seorang pemuda ingin berhijrah bersama Nabi Muhammad SAW. Namun, saat meminta izin, pemuda tersebut mengungkapkan bahwa ia baru saja membuat orang tuanya menangis. Nabi Muhammad SAW tidak mengizinkan pemuda tersebut untuk berhijrah dan malah menyuruhnya kembali ke rumah untuk membuat orang tuanya tertawa sebagaimana ia telah membuat mereka menangis.
Nabi Muhammad SAW menunjukkan sikap yang tegas tentang pentingnya berbakti kepada orang tua. Beliau menolak membaiat pemuda tersebut karena ia tidak mendapatkan restu dari orang tuanya yang sedang bersedih. Dalam beberapa hadits, beliau menekankan bahwa berbakti kepada orang tua adalah hal yang utama, kecuali jika orang tua menyuruh untuk bermaksiat kepada Allah. Dalam sebuah hadits riwayat At-Tirmidzi, beliau bersabda, “Ridha Allah ada pada ridha kedua orang tua dan murka Allah ada pada murka kedua orang tua.”
Kisah ini menunjukkan betapa pentingnya menghormati dan berbakti kepada orang tua, bahkan di saat-saat sulit sekalipun.