Rasulullah diutus oleh Allah untuk menyampaikan pesan ilahi, mengajak umat manusia untuk menyembah dan mengesakan-Nya. Selama hayatnya, Rasulullah menjadi ‘wakil’ Allah di dunia, dan para sahabat sering berkonsultasi kepadanya mengenai berbagai persoalan, baik sosial, politik, budaya, maupun agama. Setiap kali ada masalah, Rasulullah selalu memberikan jawaban berdasarkan wahyu yang diterimanya dari Allah. Dengan penuh perhatian, beliau menjelaskan berbagai aspek ajaran agama, termasuk ritual, etika, nasihat, serta larangan.
Suatu ketika, saat Rasulullah memberikan pengajaran kepada para sahabatnya, Buraidah bin al-Hushaib al-Aslami mengungkapkan perasaannya. Ia menceritakan bahwa ia pernah memberikan ibunya seorang hamba sahaya untuk meringankan beban pekerjaannya. Namun, ibunya telah meninggal dunia. Rasulullah menanggapi dengan mengatakan bahwa Buraidah akan tetap mendapatkan pahala dan hamba sahaya tersebut akan menjadi miliknya sebagai harta warisan.
Buraidah kemudian mengajukan dua pertanyaan kepada Rasulullah. Pertama, mengenai hutang puasa ibunya. Ia ingin tahu apakah ia diperbolehkan untuk berpuasa atas nama ibunya. Rasulullah menjawab bahwa ia diperbolehkan untuk melakukannya. Pertanyaan kedua berkaitan dengan ibadah haji. Buraidah bertanya apakah ia boleh meng-haji-kan ibunya yang belum pernah melaksanakan ibadah haji. Rasulullah kembali memberikan izin dan mendorong Buraidah untuk melaksanakan haji atas nama ibunya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa beribadah atas nama orang tua yang telah tiada adalah hal yang diperbolehkan dalam Islam. Rasulullah tidak hanya membolehkan, tetapi juga mendorong umatnya untuk berbuat baik dan beribadah atas nama orang tua mereka. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kita masih bisa berbuat baik untuk orang tua kita meskipun mereka sudah tiada.