Pada zaman Jahiliyah, kekuasaan sering kali menjadi tolok ukur keadilan. Mereka yang kuat merasa bebas untuk mengambil hak orang lain, menindas yang lemah, dan melanggar hak-hak masyarakat yang tidak memiliki aliansi. Dalam konteks ini, keadilan hanya milik mereka yang berkuasa, sementara orang-orang yang lemah dan tidak memiliki dukungan dari suku lain dipandang sebelah mata.
Perang Fijar menjadi salah satu momen penting dalam sejarah yang memperlihatkan ketidakadilan tersebut. Perang ini terjadi antara suku Kinanah yang didukung oleh Quraisy melawan Hawazin, dipicu oleh pembunuhan seorang laki-laki Amir dari suku Hawazin. Konflik ini berlangsung sekitar lima hari, namun ketegangan antara kedua pihak berlanjut selama tiga hingga empat tahun. Pada saat itu, Rasulullah berusia 15 tahun dan ikut serta dalam perang tersebut bersama pamannya. Meskipun masih muda, ia diizinkan untuk menunjukkan kemampuannya memanah ketika situasi memerlukan.
Beberapa waktu setelah perang berakhir, sebuah kejadian yang mengganggu rasa keadilan terjadi ketika seorang pedagang dari Yaman kehilangan barang dagangannya akibat tindakan salah seorang anggota Bani Sahm. Meskipun pedagang tersebut tidak memiliki aliansi kuat di Makkah, ia meminta bantuan Quraisy untuk menegakkan keadilan. Kejadian ini menyentuh kesadaran masyarakat setempat akan pentingnya keadilan.
Merujuk pada buku “Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik,” peristiwa ini menjadi titik balik bagi masyarakat di Makkah untuk bersatu dan merumuskan hukum bersama. Mereka menyadari bahwa ketidakadilan tidak dapat dibiarkan terus menerus. Pertemuan diadakan di rumah Abdullah bin Jud’an, di mana para pemimpin kabilah berkumpul dengan tujuan untuk merumuskan kesepakatan yang mengedepankan keadilan.
Dari pertemuan tersebut lahirlah Perjanjian Kehormatan (Hilful Fudhul). Dalam perjanjian ini, para pemimpin sepakat bahwa keadilan harus ditegakkan dan pihak yang teraniaya harus dibela, tanpa memandang suku atau klan. Rasulullah, yang hadir dalam pertemuan itu, turut berikrar untuk menegakkan keadilan bagi siapa pun yang teraniaya.
Rasulullah sangat menghormati Perjanjian Kehormatan ini. Dalam sebuah sabdanya, beliau menyatakan bahwa jika ia diundang untuk menghadiri perjanjian serupa di masa Islam, ia akan memenuhi undangan tersebut. Ini menunjukkan komitmen Rasulullah terhadap prinsip-prinsip keadilan yang ditegakkan dalam perjanjian itu, sebuah nilai yang terus relevan hingga saat ini.