Bilal bin Rabah adalah seorang budak berkulit hitam yang berasal dari Habasyah (Ethiopia). Majikannya, Umayyah bin Khalaf, merupakan elit musyrik Makkah yang sangat menentang Rasulullah dan dakwah Islam. Ketertarikan Bilal terhadap Islam mulai muncul ketika ia sering mendengar pembicaraan Umayyah dan teman-temannya tentang Rasulullah. Akhirnya, Bilal menemui Rasulullah dan menyatakan diri untuk masuk Islam. Umayyah yang mengetahui hal ini sangat marah dan melakukan berbagai tindakan kekerasan untuk memurtadkan Bilal, mulai dari menjemur di padang pasir tanpa pakaian hingga menjatuhinya dengan batu besar. Namun, Bilal tetap teguh pada keyakinannya.
Abu Bakar kemudian memerdekakan Bilal setelah mengetahui kondisinya yang sangat memprihatinkan. Sejak saat itu, Bilal selalu berada di dekat Rasulullah, ikut berhijrah dan tinggal tidak jauh dari rumah Rasulullah di Madinah. Dia menjadi ahlu shuffah dan tinggal di emperan Masjid Nabawi bersama sahabat-sahabat lainnya, sementara Rasulullah tinggal di sebuah bilik yang masih menyambung dengan masjid.
Dalam Islam, semua manusia memiliki derajat yang sama, dan hanya ketakwaan yang membuat mereka mulia di sisi Allah, terlepas dari warna kulit, suku, atau ras. Bilal adalah contoh nyata dari prinsip tersebut. Meskipun berkulit hitam dan berlatar belakang budak, Bilal dipilih Rasulullah untuk mengemban tugas mulia sebagai muadzin pertama.
Pemilihan Bilal sebagai muadzin pertama bukan tanpa alasan. Ada empat alasan utama mengapa Rasulullah memilihnya. Pertama, Bilal memiliki suara yang lantang dan merdu. Suaranya mampu menggugah hati siapa pun yang mendengarnya, baik saat mengumandangkan adzan maupun membaca Al-Qur’an.
Kedua, Bilal sangat menghayati kalimat-kalimat adzan. Ia pernah disiksa dengan sangat kejam untuk meninggalkan Islam tetapi tetap bersikukuh pada keyakinannya. Kata-kata “ahad, ahad, ahad” yang diucapkannya saat disiksa memiliki makna tauhid yang sama dengan kalimat adzan, yaitu meng-esakan Allah.
Ketiga, Bilal dikenal memiliki kedisiplinan yang tinggi. Mengingat adzan dikumandangkan lima kali sehari dengan waktu yang telah ditentukan, diperlukan seseorang yang sangat disiplin untuk menjalankan tugas tersebut, dan Bilal memenuhi kriteria itu.
Keempat, keberanian Bilal patut dicontoh. Pada masa awal dakwah Islam, mengumandangkan adzan membutuhkan keberanian luar biasa mengingat kondisi masyarakat saat itu yang masih didominasi kemusyrikan dan penolakan terhadap Islam. Bukti keberaniannya terlihat jelas ketika dia tetap bertahan meskipun disiksa dengan seberat apapun.
Bilal terus mengumandangkan adzan hingga wafatnya Rasulullah. Setelah itu, ia tidak mau lagi menjadi muadzin karena air mata tidak dapat dibendung saat mengucapkan kalimat “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah,” yang mengingatkannya pada kenangan bersama Rasulullah. Khalifah Abu Bakar berusaha meyakinkannya untuk kembali mengumandangkan adzan, namun tidak berhasil.
Hanya ketika Khalifah Umar bin Khattab meminta Bilal untuk adzan di Yerusalem, ia bersedia melakukannya sekali lagi atas permintaan umat Islam. Saat itu, semua yang hadir menangis mendengar suara Bilal mengumandangkan adzan, termasuk Khalifah Umar. Itulah adzan terakhir Bilal bin Rabah yang sangat berkesan bagi umat Islam.