Mudik atau pulang kampung telah menjadi tradisi tahunan bagi masyarakat Muslim di Indonesia setiap akhir bulan Ramadhan. Mereka berpindah dari kota ke desa atau antar kota, dengan berbagai tujuan, mulai dari mengunjungi orang tua, menjalin silaturahim, hingga mengenang masa kecil. Tradisi ini telah mengakar kuat dalam masyarakat Muslim Indonesia dan berlangsung selama bertahun-tahun.
Rasulullah Muhammad (SAW) dan para sahabatnya juga pernah melakukan mudik jauh sebelum tradisi ini diadopsi oleh masyarakat Muslim Indonesia. Rasulullah pulang ke Makkah setelah delapan tahun meninggalkan kampung halamannya pada tanggal 10 Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah, bertepatan dengan 8 Juni 632 M. Meskipun konteks dan tujuan mudik Rasulullah berbeda, yaitu untuk penaklukan Makkah (Fathu Makkah), hal ini menunjukkan bahwa pulang kampung merupakan bagian penting dari sejarah Islam.
Dalam buku “Pengantin Ramadhan,” Muchlis Hanafi menyebutkan bahwa Rasulullah ‘mudik’ ke Makkah selama 19 hari. Saat itu, beliau merayakan hari raya Idul Fitri yang keenam di Makkah, kampung halamannya. Selama mudik, Rasulullah menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Beliau memaafkan semua musuh yang pernah menentang dakwah Islam dan menghancurkan berhala-berhala di area Ka’bah yang disembah oleh warga Makkah. Total ada 360 berhala yang dimusnahkan, termasuk tiga berhala besar; Hubal, al-Latta, dan al-Uzza.
Rasulullah juga mengumumkan agar setiap orang yang memiliki berhala di rumahnya segera menghancurkannya. Setelah menyelesaikan urusannya di Makkah, beliau kembali ke Madinah. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasulullah menyatakan bahwa tidak ada lagi hijrah ke Madinah setelah kemenangan di Makkah, yang ada hanyalah niat tulus untuk melakukan kebajikan disertai perjuangan untuk mewujudkannya.
Ketika seseorang mudik ke kampung halamannya, hendaknya mereka menebarkan kebaikan, kebahagiaan, dan kedamaian seperti yang dilakukan Rasulullah selama Fathu Makkah, bukan malah menyebarkan keburukan atau hal negatif lainnya. Tradisi ini seharusnya menjadi momentum untuk mempererat tali silaturahim dan menciptakan suasana yang harmonis dalam masyarakat.