Hijrah, secara etimologis, berarti meninggalkan suatu perbuatan, menjauhkan diri dari pergaulan, atau berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Secara terminologis dalam syari’at agama, hijrah terdiri dari empat jenis.
Pertama, hijrah yang dimaksud adalah meninggalkan semua kegiatan yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Ini mencakup menghindari perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam hadis Nabi Muhammad (SAW) disebutkan, “Dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah” (HR. Bukhari, No: 9). Dengan demikian, setiap individu yang menjauhi larangan Allah telah melakukan hijrah dalam pengertian ini.
Kedua, hijrah atau mengasingkan diri dari perbuatan orang-orang musyrik dan kafir yang menyakiti umat Islam sangat penting. Tekanan dan permusuhan dari mereka seringkali menghalangi umat Islam untuk melaksanakan ajaran agama. Dalam keadaan seperti ini, diwajibkan bagi setiap Muslim untuk berhijrah meninggalkan kaum yang dzalim, kecuali jika mereka tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Ketiga, berhijrah dari daerah yang diliputi kezaliman dan kemaksiatan menuju tempat yang lebih baik diharapkan dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Di tempat baru ini, umat Islam diharapkan dapat bergaul dengan orang-orang saleh dan berusaha menegakkan ajaran Islam.
Keempat, hijrah secara mental, yaitu menghindar dari perbuatan tercela meskipun banyak orang di sekitarnya melakukannya. Dalam masyarakat seperti ini, tugas umat Islam adalah berjuang menegakkan nilai-nilai kebenaran Islam sesuai kemampuan masing-masing.
Hijrah Nabi Muhammad (SAW) terjadi pada tahun 622 M dari Makkah ke Madinah, sebagai respons terhadap penindasan luar biasa dari kaum musyrik Quraisy. Sejak awal dakwah Islamiyah, permusuhan Quraisy terhadap Nabi (SAW) tidak pernah surut. Mereka menggunakan berbagai cara untuk menghalangi dakwah Islam, baik dengan bujukan halus maupun tindakan kekerasan.
Bujukan halus datang dari tokoh-tokoh Quraisy yang mendatangi Abu Thalib, pamannya, dengan tawaran agar Nabi (SAW) menghentikan dakwahnya dengan imbalan harta dan kekuasaan. Namun, Nabi (SAW) dengan tegas menolak, mengatakan bahwa ia tidak akan meninggalkan dakwahnya meskipun mereka memberikan segala sesuatu yang diinginkannya.
Ketika usaha-usaha itu gagal, kaum Quraisy mengadakan musyawarah di Dar al-Nadwa dan mengajukan berbagai usulan untuk menghentikan Nabi (SAW), termasuk usulan untuk membunuhnya. Mereka akhirnya menyepakati rencana untuk membunuh Nabi (SAW) dengan melibatkan perwakilan dari setiap suku Arab.
Di tengah situasi yang semakin mencekam, Nabi (SAW) menyuruh para sahabatnya untuk berhijrah ke Madinah. Para sahabat pergi secara sembunyi-sembunyi, meninggalkan rumah dan tanah kelahiran mereka demi menegakkan agama Allah.
Nabi (SAW) sendiri belum berhijrah karena menunggu perintah Allah. Ketika ancaman terhadap dirinya semakin nyata, Allah memerintahkan Nabi (SAW) untuk segera berhijrah. Malam itu, setelah mempersiapkan segalanya, Nabi (SAW) memanggil Ali bin Abi Thalib untuk mencatat barang-barang yang dititipkan oleh warga Makkah. Ali kemudian tidur di tempat tidur Nabi (SAW) sebagai bentuk pengorbanan demi melindungi beliau.
Pada malam tanggal 2 Rabi’ul Awwal tahun ketiga belas dari kenabian, bertepatan dengan 20 Juli 622 M, Nabi (SAW) keluar dari rumahnya dan melemparkan segenggam pasir ke arah orang-orang Quraisy yang menunggu di luar. Dengan izin Allah, mereka tertidur sejenak dan tidak menyadari kepergian beliau.
Setelah keluar rumah, Nabi (SAW) bertemu dengan Abu Bakar as-Siddiq yang telah menyiapkan dua ekor unta untuk perjalanan hijrah. Mereka berdua akhirnya menuju Gua Tsur untuk bersembunyi selama tiga hari sebelum melanjutkan perjalanan ke Madinah. Perjalanan ini sangat berat dan penuh tantangan, namun dengan ketabahan dan tawakkal kepada Allah, Nabi (SAW) dan Abu Bakar melanjutkan perjalanan menuju kota yang baru.
Hijrah Nabi Muhammad (SAW) bukan hanya sekadar perpindahan fisik, tetapi juga merupakan langkah penting dalam penyebaran ajaran Islam dan penegakan nilai-nilai keadilan serta kebenaran di tengah penindasan.