Dalam pelaksanaan ibadah kurban, seringkali terjadi bahwa panitia yang bertugas menerima amanat dari pihak yang berkurban (mudhahi) untuk melaksanakan penyembelihan hewan kurban, mengolah, dan membagikan dagingnya. Namun, praktik di mana panitia kurban memasak sebagian daging untuk makan siang oleh semua anggota panitia menimbulkan pertanyaan seputar pandangan fiqih terhadap hal tersebut.
Menurut pandangan fiqih, panitia seharusnya hanya bertindak sebagai perpanjangan tangan dari pihak mudhahi. Artinya, kewenangan panitia terbatas pada melaksanakan amanah yang diberikan, tanpa memiliki wewenang untuk melakukan tasaruf, termasuk memasak daging kurban untuk makan siang. Namun, jika mudhahi telah menentukan sejumlah daging untuk panitia, hal tersebut menjadi dibolehkan.
Sebagian ulama menyatakan bahwa bagi wakil yang diberi amanah untuk membagikan daging aqiqah, boleh mengambil sebagian daging tersebut untuk dirinya sendiri, dengan syarat kadar yang diambil sesuai kebiasaan yang berlaku, cukup untuk makan siang dan makan malam. Hal ini masih dapat ditoleransi karena adat yang berlaku.
Dalam kasus kurban wajib di mana seluruh daging kurban harus diberikan kepada orang fakir mentah, namun tidak semua anggota panitia termasuk golongan fakir miskin, dapat diselesaikan dengan memberikan kepada salah satu panitia yang fakir kemudian dagingnya dimasak untuk dimakan bersama-sama seluruh panitia.
Adat kebiasaan di masyarakat di mana panitia kurban memasak sebagian daging kurban untuk makan siang dapat dibenarkan menurut pandangan fikih dengan kadar secukupnya tidak berlebihan, asalkan izin telah diminta kepada mudhahi sejak awal. Selain itu, panitia sebaiknya meminta biaya akomodasi penyembelihan, pengolahan, dan pembagian daging kurban kepada para mudhahi untuk dialokasikan kebutuhan konsumsi dan kebutuhan lainnya.