Tahapan tawaf bagi jamaah haji wanita yang mengalami haid setelah wukuf dan lontar jamrah aqabah atau tahallul memerlukan pemahaman yang mendalam. Bagi sebagian ulama, kesucian saat melakukan tawaf dianggap sebagai syarat sah karena tawaf dianggap setara dengan ibadah shalat yang membutuhkan kesucian.
Penting untuk dicatat bahwa kesucian saat melakukan tawaf ini diperkuat oleh perintah Nabi Muhammad saw kepada Sayyidatina Aisyah ra yang sedang dalam masa haid saat berhaji. Beliau menyarankan agar Aisyah ra melakukan apa yang dilakukan jamaah haji lain selain tawaf di Ka’bah sampai beliau suci.
Tawaf sendiri diperintahkan dalam Surat Al-Hajj ayat 29 yang menyatakan bahwa hendaklah mereka tawaf di Baitullah yang tua sejarahnya. Namun, bagi jamaah perempuan haid yang tidak dapat menunggu kesucian untuk melaksanakan tawaf karena alasan tertentu, ada pandangan dari Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dan Ibnu Taimiyah yang memperbolehkan tetap melaksanakan tawaf dalam kondisi haid.
Bagi jamaah haji perempuan yang memutuskan untuk tetap tawaf dalam kondisi haid, disarankan untuk menunggu darah haid berkurang, terus mandi, menggunakan pembalut, dan menyelesaikan tawaf serta sa’i di Masjidil Haram. Meskipun dalam kondisi haid, mereka tetap bisa melaksanakan tawaf tanpa harus menunggu kesucian jika terkendala oleh jadwal keberangkatan.
Pendapat dari Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengenai tawaf dalam kondisi haid menekankan bahwa dalam keadaan darurat, tawaf dapat dilakukan meskipun tidak dalam keadaan suci. Meskipun idealnya tawaf dilakukan dalam keadaan suci, namun dalam situasi tertentu seperti uzur, tawaf dapat dilakukan dalam kondisi hadats, khususnya haid.
Penting untuk memahami bahwa pemahaman ini berkaitan dengan keadaan darurat dan uzur yang memungkinkan seseorang untuk tetap menjalankan ibadah tawaf meskipun dalam kondisi haid. Semoga informasi ini bermanfaat dan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai tata cara pelaksanaan tawaf bagi jamaah haji wanita yang sedang mengalami haid.