Manasik haji merupakan serangkaian ritual yang harus dilalui oleh jamaah haji selama ibadah haji. Salah satu ritual penting dalam manasik haji adalah mabit di Mina, yang dilakukan selama tiga malam tasyriq setelah wukuf di Arafah dan juga mabit di Muzdalifah pada malam 10 Dzulhijjah.
Hukum mabit di Mina sendiri menjadi perdebatan di kalangan ulama. Menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal, mabit di Mina dianggap wajib. Jamaah haji yang tidak mabit selama satu, dua, atau tiga malam di Mina akan dikenakan kewajiban membayar sejumlah tertentu sesuai dengan lamanya tidak mabit.
Di sisi lain, menurut Imam Abu Hanifah dan beberapa ulama lainnya, mabit di Mina hanya bersifat sunnah. Jamaah haji yang tidak mabit tidak diwajibkan membayar dam karena dalam pandangan mereka, mabit di Mina merupakan anjuran, bukan kewajiban.
Namun, ada pengecualian bagi jamaah haji yang mengalami uzur syar’i, seperti orang sakit atau khawatir akan hilangnya harta. Mereka diperbolehkan untuk tidak mabit di Mina tanpa harus membayar dam.
Kondisi di Mina pada tahun 2024 menunjukkan adanya kepadatan jamaah haji yang meningkat. Hal ini disebabkan oleh kebijakan Arab Saudi yang menetapkan seluruh jamaah haji bermabit di Mina. Kepadatan ini berpotensi menyulitkan terutama bagi jamaah lansia yang lemah atau sakit.
Dalam menghadapi kondisi tersebut, PBNU telah mengambil kebijakan untuk menazulkan sebagian jamaah haji ke hotel agar tidak mabit di tenda Mina. Meskipun demikian, mereka tetap diwajibkan untuk kembali ke Mina saat waktu lontar jamrah tiba.
Keputusan ini diambil dengan pertimbangan kesehatan, keselamatan, dan kenyamanan jamaah haji. Sebagai bagian dari upaya mengurangi kepadatan tenda Mina dan memastikan ibadah haji berjalan lancar.
Dengan demikian, pemahaman tentang hukum mabit di Mina dan penyesuaian dengan kondisi realitas lapangan menjadi penting dalam pelaksanaan ibadah haji. Semoga setiap langkah yang diambil dapat mengarah pada keselamatan dan kemaslahatan seluruh jamaah haji.