Haji adalah salah satu rukun Islam yang wajib bagi umat Muslim yang mampu melakukannya. Dalam perjalanan haji, ada beberapa ritual yang harus dilakukan oleh jamaah haji, termasuk mabit di Muzdalifah setelah wukuf di Arafah. Namun, berbeda pandangan dari berbagai mazhab tentang hukum dan tata cara mabit di Muzdalifah.
Imam Malik berpendapat bahwa mabit di Muzdalifah berarti berhenti sejenak, menjamak dua shalat, dan makan serta minum. Bagi Imam Malik, menginap semalam suntuk di Muzdalifah adalah sunnah muakkad. Jamaah yang tidak melaksanakan mabit, wajib membayar dam.
Ulama Hanafiyah meyakini bahwa diam di Muzdalifah wajib dilakukan meski hanya sebentar seperti murur atau lewat saja. Sedangkan ulama Syafiiyah dan Hanabilah menganggap cukup dengan berhenti sejenak setelah tengah malam.
Menurut ulama Syafiiyah, jamaah haji harus mabit di Muzdalifah meski hanya sesaat setelah tengah malam. Jika meninggalkan Muzdalifah sebelum tengah malam, maka harus kembali untuk melaksanakannya. Jika tidak kembali sampai terbit fajar, maka terkena dam.
Pendapat terakhir menyatakan bahwa mabit di Muzdalifah tidak harus bermalam suntuk, namun cukup dengan kehadiran sesaat atau bahkan hanya melalui area tersebut seperti wukuf di Arafah.
Bagi jamaah haji Indonesia, kebijakan mabit di Muzdalifah harus mengikuti agenda perjalanan haji yang telah ditetapkan oleh Kementerian Agama RI. Hal ini penting untuk memastikan pelaksanaan ibadah haji berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Semoga pemahaman mengenai tata cara mabit di Muzdalifah dari berbagai perspektif mazhab ini dapat memberikan gambaran yang lebih jelas bagi jamaah haji dalam melaksanakan ibadah haji dengan baik dan benar.