Menurut mayoritas ulama, melontar jamrah aqabah dan jamarat pada hari-hari Tasyrik adalah wajib bagi jamaah haji. Bagi yang meninggalkannya, pembayaran dam menjadi kewajiban. Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu melontar jamrah aqabah.
Menurut Madzhab Syafi’i dan Hanbali, waktu melontar jamrah aqabah dimulai sejak tengah malam hari nahr (10 Dzulhijjah). Meski demikian, waktu terbaik adalah setelah terbit matahari. Di sisi lain, menurut madzhab Maliki dan Hanafi, waktu yang tepat adalah setelah terbit matahari pada hari raya Idul Adha.
Sementara untuk melontar jamarat pada tiga hari Tasyrik, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, kesepakatan ulama menyatakan bahwa waktu yang tepat adalah setelah tergelincir matahari atau setelah dzuhur. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Ibnu Abbas yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw melontar Jamarat saat matahari telah tergelincir, dan kegiatan ini berlangsung hingga matahari terbenam.
Bagaimana jika seseorang tidak dapat melontar jamarat pada waktu yang ditentukan? Menurut Madzhab Syafi’i, waktu melontar jamarat dimulai sejak tergelincir matahari hingga tenggelamnya matahari. Jika seseorang tidak dapat melakukannya pada hari pertama, ia dapat melakukannya di hari-hari berikutnya hingga berakhirnya hari Tasyrik.
Dalam praktiknya, jamaah haji yang mengalami udzur syar’i diperbolehkan mengakhirkan melontar jamarat dengan cara tertentu sebagai penggantian lontaran pada hari-hari sebelumnya. Hal ini diatur secara detail dalam buku Moderasi Manasik Haji dan Umrah.
Dengan demikian, melontar jamarat saat haji memiliki waktu dan tata cara yang telah ditetapkan oleh ulama. Kewajiban membayar dam berlaku jika seseorang tidak melaksanakan melontar pada waktu yang telah ditentukan hingga berakhirnya hari Tasyrik. Semoga informasi ini bermanfaat bagi para jamaah haji dalam menjalankan ibadah haji dengan baik dan benar.