Pernikahan beda agama selalu menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan dalam masyarakat. Banyak yang masih mempertanyakan apakah pernikahan beda agama dapat diperbolehkan menurut hukum negara dan agama.
Dalam hukum positif, keabsahan pernikahan bergantung pada ajaran agama yang dianut oleh pasangan tersebut. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (1) menegaskan hal ini.
Dalam perspektif fiqih Islam, pernikahan beda agama umumnya dianggap sebagai sesuatu yang tidak sah dan haram.
Hal penting yang perlu dicatat adalah bahwa larangan pernikahan beda agama tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses interpretasi terhadap dalil-dalil agama dengan landasan kajian ushul fiqih.
Dalam kajian ushul fiqih, terdapat beberapa kaidah ijmaliyah (umum) yang menjadi dasar dari larangan pernikahan beda agama.
Pertama, “Takhsisul ‘Amm”, dimana Al-Qur’an secara tegas melarang seorang Muslim menikahi wanita musyrik. Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai definisi “musyrik” dalam konteks ini.
Kedua, “Ijma’”, metode pengambilan hukum berdasarkan kesepakatan para ulama setelah zaman Nabi Muhammad SAW wafat. Dalam hal pernikahan beda agama, ijma’ memutuskan bahwa pernikahan antara Muslimah dengan non-Muslim (tergantung statusnya) adalah haram.
Ketiga, “Saddud Dzari’ah”, yang merupakan proses pengambilan hukum dengan mencegah segala sesuatu yang dapat menyebabkan kerusakan. Pernikahan beda agama dianggap dapat membawa kerusakan karena potensi masuknya salah satu pihak ke dalam agama pasangannya.
Dengan demikian, mayoritas ulama Islam cenderung mengharamkan pernikahan beda agama berdasarkan kaidah-kaidah dan metode yang telah disepakati dalam kajian ushul fiqih.
Tentu masih terdapat beragam perdebatan dan pandangan dalam masalah ini, namun pada akhirnya, penting untuk memahami bahwa pernikahan beda agama secara umum dianggap sebagai pernikahan yang tidak sah dan diharamkan menurut ajaran Islam.