Baru-baru ini, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menjadi perbincangan hangat di kalangan warganet setelah video seorang pembeli sepatu dari luar negeri viral karena bea masuk yang dibebankan melebihi nilai barang yang dibelinya.
Menurut informasi dari cnnindonesia.com, awalnya nilai CIF (Cost, Insurance, and Freight) atas impor tersebut adalah US$ 35,37 atau Rp 562.736 yang disampaikan oleh jasa pengiriman DHL. Namun setelah dilakukan pemeriksaan, nilai CIF atas barang tersebut mencapai US$ 553,61 atau Rp 8.807.935. Akibat ketidaksesuaian ini, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 96 Tahun 2023 pasal 28 bagian kelima, pasal 28 ayat 3.
Detail bea masuk dan pajak impor atas sepatu tersebut meliputi:
- Bea masuk 30 persen sebesar Rp2.643.000,
- PPN 11 persen sebesar Rp1.259.544,
- PPh Impor 20 persen sebesar Rp2.290.000,
- Sanksi Administrasi sebesar Rp24.736.000,
Total tagihan akhirnya mencapai Rp 30.928.544.
Pajak barang dari luar negeri dalam perspektif Fiqih Islam menimbulkan pertanyaan tentang ketentuan tarif yang dikenakan atas bea masuk dan sanksi denda.
- Bea Masuk DJBC mengurusi barang kiriman luar negeri untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, melindungi masyarakat dari barang berbahaya, serta mendukung industri dalam negeri dan perdagangan. Pengenaan bea masuk bukan hanya untuk penerimaan negara, tetapi juga sebagai instrumen fiskal untuk mengendalikan impor guna melindungi industri dalam negeri termasuk UMKM.
Dalam pandangan Fiqih Islam, terdapat perbedaan pendapat mengenai kewajiban membayar pajak yang diperintahkan oleh pemerintah. Ada yang memandangnya sebagai beban yang memberatkan dan ada pula yang menganggapnya sebagai kewajiban.
- Sanksi Denda Barang kiriman dapat terkena denda jika terdapat kesalahan dalam pemberitahuan nilai pabean yang mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk. Hal ini dilakukan untuk menjaga keadilan antara importir, negara, serta menciptakan persaingan sehat dengan industri dan UMKM dalam negeri.
Penerapan sanksi denda atau ta’zir bil mal dalam Fiqih Islam juga menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Meskipun banyak yang menolak, namun ada juga yang memperbolehkannya dengan alokasi ke kas negara.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan bea cukai bertujuan untuk kemaslahatan ekonomi dalam negeri, sementara tagihan tinggi melebihi harga barang disebabkan oleh pelanggaran yang mengakibatkan sanksi denda. Ketentuan tarif bea cukai harus mempertimbangkan maslahat yang ada dengan tetap memperhatikan kemampuan pembayar, sedangkan tarif sanksi denda harus didasarkan pada konsep ta’zir agar efektif dalam mencegah pelanggaran di masa depan.