Kasus korupsi di kalangan pejabat negara tetap menjadi masalah serius di Indonesia. Belakangan ini, muncul berita terkait salah seorang oknum pejabat bea cukai yang dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan kejanggalan harta kekayaannya.
Korupsi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh individu atau organisasi yang menggunakan jabatan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan ilegal atau menyalahgunakan kekuasaan demi keuntungan pribadi.
Dalam Hukum Positif, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur berbagai jenis korupsi, antara lain kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diwajibkan untuk mematuhi kode etik dan perilaku yang melarang segala bentuk tindak korupsi. Undang-undang juga menetapkan sanksi pidana maksimal, termasuk hukuman mati, bagi pelaku korupsi.
Dalam perspektif Hukum Islam, hukuman mati dapat diterapkan bagi koruptor sebagai bentuk keadilan dan efektivitas dalam memberantas korupsi. Begitu pula dengan kewajiban mengembalikan harta hasil korupsi ke negara dan larangan mencalonkan diri pada jabatan tertentu bagi pelaku korupsi.
Sanksi tambahan seperti larangan menshalati jenazah koruptor juga dianggap sebagai tindakan yang perlu dilakukan sebagai peringatan bagi orang lain agar tidak melakukan tindakan korupsi.
Upaya memberantas korupsi memerlukan kerjasama antara hukum positif dan nilai-nilai Islam dalam menegakkan integritas, transparansi, serta keadilan dalam menjalankan pemerintahan. Semoga dengan langkah-langkah tegas ini, korupsi dapat diminimalisir dan negara dapat lebih maju dalam upaya pemberantasan korupsi.