Keluarga Nabi Muhammad yang sering disebut dalam bacaan shalawat memiliki interpretasi yang beragam di kalangan ulama. Menurut Syekh Muhammad bin Umar bin Nawawi Banten, keluarga Nabi merujuk pada semua umat yang menerima ajakan dakwahnya untuk beriman pada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Hal ini diperkuat dengan hadits yang menyatakan bahwa keluarga Nabi adalah setiap orang yang bertakwa.
Di sisi lain, Imam Abul Fadl Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa keluarga Nabi dalam bacaan shalawat dapat merujuk kepada orang-orang yang haram menerima zakat, seperti keluarga dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Pendapat lain menyebutkan bahwa keluarga Nabi mencakup istri-istri dan keturunannya, bahkan ada yang mempersempit definisi hanya pada keturunan Sayyidah Fatimah.
Selain itu, ada pandangan yang menyatakan bahwa keluarga Nabi Muhammad mencakup semua umat yang menerima ajakan dakwah dari beliau dan beriman pada ajarannya. Pandangan ini didukung oleh sejumlah ulama terkemuka seperti Imam Malik bin Anas, Imam al-Azhari, dan Imam Nawawi. Namun, ada juga yang membatasi definisi ini hanya pada orang-orang yang bertakwa.
Imam Abu Zakaria Yahya bin Syarf an-Nawawi menempatkan semua umat Nabi Muhammad sebagai keluarga Nabi dalam urutan pertama dalam bacaan shalawat, diikuti oleh Bani Hasyim dan Bani Muthalib, serta keluarga Rasulullah beserta keturunannya.
Sementara itu, Imam Abul Abbas Syihabuddin al-Halabi menjelaskan bahwa keluarga Nabi dalam bacaan shalawat merujuk kepada orang-orang yang akan tetap beriman pada ajaran Islam hingga hari kiamat. Dengan demikian, siapa pun yang beriman pada ajaran Islam dianggap sebagai bagian dari keluarga Nabi.
Dari beragam pandangan ulama tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsep keluarga Nabi Muhammad dalam bacaan shalawat memiliki makna yang luas dan terbuka untuk berbagai interpretasi. Setiap pandangan memiliki landasan dan argumentasi tersendiri, sehingga memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai keagungan dan keberkahan keluarga Nabi dalam Islam.