- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Mengakhiri Superioritas Rasial: Teladan dari Sejarah dan Ajaran Islam

Google Search Widget

Superioritas rasial telah menjadi topik yang memicu pro-kontra dan kompleks dalam sejarah manusia. Konsep tentang superioritas rasial telah menjadi landasan bagi banyak bentuk diskriminasi, penindasan, dan ketidaksetaraan di seluruh dunia. Menurut Angela Saini, seorang jurnalis spesialis dalam bidang komunikasi sains, dalam bukunya yang berjudul Superior, konsep ras adalah suatu hal yang relatif baru. Salah satu penggunaan pertama kali muncul pada abad ke-16 sebagai cara untuk merujuk kepada sekelompok orang dari suatu keluarga atau suku, tanpa memiliki konotasi yang sama sebagaimana sekarang.

Saini menjelaskan sudah banyak tokoh besar bidang biologi yang terlibat dalam melahirkan ide-ide namun tidak dapat diterima oleh sebagian kalangan. Bahkan, menurutnya, Charles Darwin terjerat dalam kategorisasi manusia, sehingga muncul gradasi antara manusia dari ras tertinggi hingga yang paling rendah.

Klasifikasi rasial memunculkan ragam teori, salah satunya teori seleksi alam oleh Thomas Henry Husley yang menyebut bahwa manusia diciptakan tidak sama. Menurut teori tersebut, orang dengan kulit hitam dalam sebuah sistem komunitas hierarki tidak akan mencapai puncak peradaban. Oleh karena itu, pada tahun 1950, Unesco mengumpulkan 100 ilmuwan, pembuat kebijakan, dan diplomat kemudian mengeluarkan pernyataan yang bertujuan untuk mendefinisikan kembali gagasan tentang ras, sehingga rasisme dapat diakhiri.

Amnesty International dalam sebuah publikasi tahun 2001 menyatakan bahwa konsep ras merupakan konstruksi sosio-politik yang didasarkan pada karakter fisik. Konsep ras kadang ditujukan untuk tujuan politik, sehingga ekspresi ideologis rasisme lahir. Ras juga sering digunakan untuk membenarkan tindakan dominasi ataupun superioritas rasial terhadap mereka yang dianggap lebih rendah.

Eksistensi superioritas rasial secara internal tidak hanya ada di Barat, di Timur pun tidak jauh berbeda. Di Indonesia sendiri isu etnisme dan rasisme tidak jarang digunakan sebagai senjata di kala perpolitikan sedang memanas. Superioritas rasial di tengah umat Islam tentunya tidak seharusnya terjadi. Umat Islam yang memiliki panduan Al-Quran dan hadits dalam kehidupan sehari-hari tidak semestinya merasa superior atas dasar etnis.

Rasulullah saw sendiri sebagai teladan umat pada 14 abad yang lalu telah mendeklarasikan bahwa tidak ada tempat untuk superioritas rasial di dunia ini. Pesan tersebut disampaikan saat pidato pada Haji Wada’. Beliau menyeru: “Wahai manusia, ketahuilah bahwa Rabb kalian adalah satu, dan bahwa nenek moyang kalian adalah satu. Ketahuilah bahwa tidak ada keungulan bagi seorang Arab atas non-Arab, atau sebaliknya, dan tidak ada keungulan bagi seorang kulit putih atas kulit hitam, atau sebaliknya, kecuali dalam ketakwaan!”

Mengenai autentisitas dan validitas hadits di atas, Al-Haitsami menginputnya dalam kitab ia tulis, yaitu ensiklopedis berisi status hadits-hadits dan menyatakan shahih. Asy-Syaukani dalam Nailul Authar menjelaskan hadits ini merupakan pondasi yang menyangkal superioritas individu maupun kelompok berdasarkan status sosial maupun rasial, sebagaimana terjadi pada zaman Jahiliyah atau Arab pra-Islam. Menurutnya, hadits ini menetapkan secara definitif keutamaan seseorang dalam Islam hanya ada pada tingkat ketakwaan, sehingga tidak ada keungulan orang Arab atas non-Arab kecuali dengan ketakwaan, demikian juga tidak ada keungulan orang kulit hitam atas orang kulit merah dan lain sebagainya kecuali dengan ketakwaan.

Ulama reformis Yaman tersebut menegaskan, jika Islam tidak menetapkan kemuliaan seseorang di sisi Tuhan berdasarkan ketakwaan, niscaya para bangsawan-bangsawan yang hidup di masa Jahiliyah akan mendapat status mulia. Kemudian dalam riwayat lainnya, Rasulullah saw pernah menegaskan bahwa manusia dinilai secara objektif dari perilakunya, bukan semata-mata karena keturunan maupun ras.

Rasulullah juga pernah mengingatkan sahabatnya, Abu Dzar, yang terindikasi masih memiliki karakter jahiliyah, yaitu dengan mengejek seseorang berdasarkan rasnya. Rasulullah tampak memerangi sikap superiorotas rasial yang masih menjangkiti karakter para sahabat.

Dalam rangka mengakhiri superioritas rasial yang telah mewarnai sejarah umat manusia, Nabi Muhammad saw telah memberikan teladan yang tegas dan inspiratif. Melalui pesan-pesan beliau, kita diingatkan bahwa ketakwaan menjadi takaran kualitas seorang hamba, bukan ras, suku atau warna kulit.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

December 23

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?