Perubahan pola pikir kaum muslimin dewasa ini membawa dampak signifikan terhadap pemahaman terhadap teks-teks keagamaan dalam hukum Islam. Pertanyaan mendasar pun muncul, apakah solusi yang terdapat dalam teks-teks tersebut masih relevan di era kontemporer? Contoh nyata misinterpretasi terhadap teks keagamaan adalah tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang disebabkan oleh pemaksaan interpretasi nusyuz atau tindakan fisik untuk ‘meluruskan’ perilaku istri. Meski teks-teks tersebut secara harfiah ada, namun realitas negatif yang timbul akibat pemahaman yang salah dapat merugikan individu dan masyarakat.
Praktik fiqih anti-kekerasan menjadi penting guna mencegah penyalahgunaan teks keagamaan untuk membenarkan kekerasan. Hal ini tidak bermaksud mengubah substansi hukum Islam yang telah ditetapkan, melainkan menegaskan penolakan terhadap tindakan kekerasan dalam segala bentuknya. Konsep anti-kekerasan mengacu pada penolakan terhadap perilaku yang merugikan secara fisik maupun mental pada orang lain, sekaligus berkomitmen untuk membangun hubungan yang adil, saling menghormati, dan menegaskan kesetaraan antarindividu.
Dalam perspektif Islam, nilai-nilai anti-kekerasan tercermin dalam ajaran Al-Qur’an dan hadits. Misalnya, surat Ali ‘Imran ayat 159 menekankan pentingnya sikap lemah lembut, pemaafan, dan musyawarah dalam menyelesaikan konflik. Hadits tentang Allah yang Maha Penyantun juga menegaskan pentingnya sikap lembut dalam menjalani kehidupan beragama dan sosial serta menolak tindakan kasar.
Terkait dengan jenis kekerasan, tidak hanya kekerasan fisik yang perlu diperhatikan, tetapi juga kekerasan verbal, psikologis, seksual, dan struktural. Kekerasan struktural seperti korupsi atau intoleransi juga memiliki dampak signifikan dalam masyarakat. Trend peningkatan kasus kekerasan, baik terhadap perempuan maupun di lingkungan sekolah, menuntut perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi problematika tersebut.
Dengan urgensi fiqih anti-kekerasan, diharapkan teks-teks keagamaan dapat diinterpretasikan dengan konteks yang sesuai untuk memberikan panduan moral dalam menangani segala bentuk kekerasan. Nilai-nilai rahmat, kasih sayang, perdamaian, dan penolakan terhadap kezaliman harus menjadi landasan utama dalam menjalani kehidupan beragama dan sosial. Dengan demikian, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang aman, adil, dan harmonis bagi semua individu.