Nikah mut’ah, atau yang dikenal juga sebagai kawin kontrak, telah menjadi topik yang menarik untuk dibahas dalam ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Meskipun telah disepakati keharamannya, nikah mut’ah memiliki dinamika sejarah yang panjang dan menarik untuk disimak.
Pada masa kehidupan Nabi Muhammad saw, keharaman nikah mut’ah tidak langsung ditetapkan. Sebelum larangan terhadap praktik ini diberlakukan secara menyeluruh, terdapat fase-fase keringanan yang memperbolehkan nikah mut’ah untuk dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Bahkan, ada riwayat yang menyebutkan bahwa saat berperang di Khaibar, Nabi saw masih memperbolehkan sahabat untuk melakukan nikah mut’ah.
Namun, larangan terhadap nikah mut’ah mulai muncul secara tegas pada masa khalifah Umar bin Al-Khattab. Beliau menegaskan hukuman bagi pelaku nikah mut’ah yang sudah memiliki pasangan sah. Hal ini menciptakan kerancuan di kalangan Syi’ah, yang mengklaim bahwa larangan pertama terhadap nikah mut’ah datang dari Umar bin Al-Khattab, bukan dari Nabi Muhammad saw.
Meskipun terdapat beberapa pendapat yang berbeda, larangan nikah mut’ah akhirnya dikukuhkan oleh Sayyidina Umar dan diakui oleh para sahabat Rasulullah saw. Meskipun demikian, pertentangan terkait keharaman nikah mut’ah masih tetap ada, terutama dari kelompok Syi’ah 12 Imam.
Perjalanan sejarah nikah mut’ah tidak berhenti di situ. Pada masa khalifah Al-Ma’mun dari Dinasti Abbasyiah, praktik nikah mut’ah pernah diizinkan kembali sebagai bagian dari strategi politiknya. Namun, kebijakan tersebut tidak bertahan lama dan malah berubah menjadi sanksi bagi para pelaku nikah mut’ah.
Meskipun demikian, periode keringanan ini diyakini menjadi pemicu masih adanya praktik nikah mut’ah di beberapa wilayah seperti Iraq dan Iran hingga saat ini. Sejarah panjang dan beragam pandangan terkait nikah mut’ah menjadi bahan diskusi menarik bagi umat Islam dalam merenungkan hukum-hukum pernikahan dalam agama.
