Pernikahan Sayyidah Aisyah dengan Nabi Muhammad saw pada bulan Syawal memiliki makna mendalam dalam menyingkap mitos dan takhayul yang tidak berdasar yang diyakini oleh masyarakat Arab pada masa jahiliah. Hal ini menjadi dasar anjuran menikah dan melakukan hubungan suami-istri di bulan Syawal, seperti yang dijelaskan oleh Imam Nawawi.
Menurut Syekh Hisamuddin, bulan Syawal dinamakan demikian karena dalam tradisi jahiliah, ada kepercayaan bahwa bulan tersebut membawa sial dan dapat menghilangkan hubungan. Masyarakat pada masa itu enggan untuk menikah atau memulai kehidupan rumah tangga di bulan Syawal karena takut pernikahan mereka tidak akan langgeng.
Kepercayaan negatif terhadap bulan Syawal ini berakar dari makna bahasa Arab “Syalat an-naqah bi dzanabiha” yang menggambarkan unta betina menegakkan ekornya sebagai tanda penolakan atau perlawanan. Sehingga, menurut Syekh Hisamuddin, meyakini hal-hal sial dan tanda-tanda kesialan seperti ini termasuk perbuatan syirik.
Nilai ketauhidan dari pernikahan Sayyidah Aisyah dengan Nabi Muhammad saw pada bulan Syawal terletak pada penolakan terhadap kepercayaan takhayul yang tidak Islami. Dengan demikian, pernikahan tersebut menjadi contoh bagi umat Islam untuk tidak terjebak dalam tradisi jahiliah dan takhayul yang bertentangan dengan ajaran agama.
Dalam menelaah nilai ketauhidan dari pernikahan tersebut, penting untuk memahami konteks sejarah dan makna simbolis di balik praktik-praktik yang dilakukan. Semoga pemahaman ini dapat memberikan inspirasi dan pemahaman yang lebih dalam bagi kita semua.