Dalam ajaran fiqih, pengelola panti asuhan memiliki peran penting dalam menangani harta atau dana milik anak di bawah asuhannya. Panti asuhan sendiri merupakan lembaga yang memberikan perlindungan dan perawatan bagi anak-anak yatim piatu, anak terlantar, serta anak dari keluarga miskin yang membutuhkan perhatian ekstra.
Pengelola panti asuhan, dalam tradisi Islam, memiliki tanggung jawab yang serupa dengan konsep kafalah. Salah satu bentuk kafalah yang dikenal luas adalah kafilul yatim, yaitu orang yang bertanggung jawab atas segala kebutuhan anak yatim, mulai dari kebutuhan fisik hingga pendidikan agama.
Menurut pandangan Syafi’i, urutan dalam pengelolaan harta anak pra baligh adalah ayah, kakek dari jalur ayah, penerima wasiat dari orang tua, hakim, atau pihak yang ditunjuk oleh hakim sebagai pengasuh. Namun, ada pendapat lain dalam mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa ibu juga dapat menjadi wali pengelolaan harta anak dengan posisi setelah kakek dan sebelum washi.
Penting untuk dicatat bahwa pengelola panti asuhan tidak berhak untuk mengelola harta anak yang belum baligh dan menerima pemberian yang ditujukan secara langsung kepada anak tersebut. Sumbangan yang diberikan harus menjadi milik lembaga dan dialokasikan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemberi sumbangan.
Sumbangan bisa bersifat umum atau khusus, namun harus dipastikan bahwa sumbangan tersebut digunakan untuk kemaslahatan panti dan penghuninya. Jika terdapat sumbangan yang ditujukan secara khusus untuk anak, pihak panti hanya berwenang mengelolanya jika mendapat mandat resmi dari pemerintah.
Penjelasan ini mengacu pada keputusan Bahtsul Masail ke-3 FORBASMA (Forum Bahtsul Masail Santri Magelang) dan memberikan gambaran jelas mengenai tata kelola dana dalam panti asuhan menurut perspektif fiqih.