Praktik politik uang, yang sering dikenal dengan istilah serangan fajar, telah menjadi masalah serius dalam dinamika pemilihan umum di Indonesia. Serangan fajar merupakan bentuk praktik risywah (suap) yang tidak hanya melanggar hukum positif dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Umum, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai moral dan etika Islam.
Dalam pandangan agama Islam, memberikan atau menerima uang dengan tujuan untuk memengaruhi suara dalam pemilihan umum merupakan perbuatan haram. Hal ini sejalan dengan keputusan Komisi Waqi’iyyah Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah yang menyatakan keharaman politik uang, termasuk serangan fajar, atas dasar tiga alasan utama:
Pertama, serangan fajar termasuk dalam kategori risywah (suap) yang diharamkan secara mutlak dalam Islam karena dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dan dosa besar.
Kedua, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 melarang tegas pemberian dan penerimaan uang atau imbalan lain untuk mempengaruhi suara dalam pemilihan umum, dan pelanggaran terhadap aturan ini dapat dikenai sanksi pidana.
Ketiga, politik uang tidak hanya merusak moralitas masyarakat tetapi juga mengakibatkan kerusakan dalam sistem bernegara. Larangan terhadap money politic adalah upaya untuk mencegah terjadinya kerusakan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan bernegara.
Menurut pandangan ulama seperti Syekh Khatib Asy-Syirbini dan Taqiyuddin As-Subki, praktik politik uang termasuk serangan fajar merupakan bentuk risywah yang harus dihindari karena bertentangan dengan prinsip keadilan dan integritas.
Dengan demikian, penting bagi masyarakat Indonesia untuk memahami dan menolak praktik politik uang, termasuk serangan fajar, guna menjaga integritas dan keadilan dalam pelaksanaan proses demokrasi, terutama dalam konteks pemilihan Presiden dan calon legislatif pada tanggal 14 Februari 2024.