Mengonsumsi kepiting bakau telah menjadi topik perdebatan yang hangat dalam masyarakat, terutama terkait dengan pandangan hukum dalam mazhab Syafi’i. Beberapa ulama Syafi’i di Nusantara memperbolehkan konsumsi kepiting bakau, sementara anggapan umum yang beredar adalah sebaliknya.
Namun, kebingungan ini sebenarnya dapat teratasi dengan pemahaman yang lebih mendalam mengenai ciri fisik dan perilaku hewan tersebut, serta aspek keamanan pangan. Alasan utama yang sering diketahui masyarakat terkait dengan larangan konsumsi kepiting dalam mazhab Syafi’i adalah kemampuannya untuk hidup di dua alam.
Namun, dengan perkembangan ilmu pengetahuan, telah terbukti bahwa kepiting bakau (Scylla) yang umum dikonsumsi oleh banyak orang hanya hidup di air dan tidak bertahan lama di darat. Oleh karena itu, kepiting bakau termasuk dalam kategori hewan air seperti rajungan (Portunidae) karena hidup dan mencari makan di dalam air.
Dalam perspektif fiqih mazhab Syafi’i, kepiting yang diharamkan karena kemampuannya hidup di dua alam dikenal sebagai sarathan. Sarathan secara biologis berbeda dengan kepiting bakau (Scylla) yang hanya hidup di air meskipun memiliki kemiripan bentuk.
Perbedaan antara kepiting bakau dan sarathan telah dijelaskan oleh ulama Nusantara bermazhab Syafi’i sejak abad ke-20 dalam kitabnya, seperti yang tercantum dalam ‘Aisyul Bahr karya Kiai Anwar dari daerah Batang. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa kepiting bukanlah sarathan, sehingga hukum mengonsumsi kepiting bakau (Scylla) adalah halal.
Kepiting bakau memiliki ciri khas berupa sepasang kaki renang pipih di bagian belakang tubuhnya, sementara sarathan tidak memiliki kaki renang dan semua kakinya berkuku tajam cocok untuk bergerak di darat. Selain itu, sarathan memiliki sifat yang menjijikkan dan berbahaya, sehingga dilarang untuk dikonsumsi menurut pandangan mazhab Syafi’i.
Selain itu, kasus keracunan sering terjadi pada orang yang mengonsumsi sarathan seperti kepiting batu atau wideng yang hidup di sekitar hutan bakau. Hal ini menunjukkan pentingnya pemahaman yang benar mengenai jenis-jenis kepiting yang aman untuk dikonsumsi, terutama bagi masyarakat muslim.
Adanya pengetahuan yang komprehensif tentang perbedaan antara kepiting bakau dan sarathan dapat membantu masyarakat dalam memilih jenis kepiting yang halal untuk dikonsumsi. Selain itu, literasi mengenai hukum fiqih dari berbagai mazhab juga perlu ditingkatkan agar pemahaman tentang halal dan haram dalam konsumsi makanan semakin jelas.
Dengan demikian, pemahaman mendalam terhadap pandangan hukum mazhab Syafi’i terhadap sarathan dapat memberikan penjelasan yang rinci mengenai kehalalan dan keharaman konsumsi kepiting bakau serta sarathan. Meskipun demikian, pandangan dari mazhab lain yang menyatakan kehalalan sarathan juga tetap harus dihormati sebagai bagian dari keragaman pandangan dalam Islam.