Politik uang telah menjadi isu yang meresahkan dalam penyelenggaraan Pemilu, meskipun telah dinyatakan sebagai perbuatan haram oleh berbagai lembaga dan tokoh agama. Hal ini juga dilarang secara tegas dalam hukum positif, dengan sanksi pidana yang mengancam bagi pelakunya.
Dalam pandangan fiqih, uang yang diperoleh dari politik uang dianggap sebagai risywah dan hukumnya haram. Bagi yang sudah menerima uang tersebut, tidak diperkenankan untuk memiliki atau menggunakan uang tersebut, melainkan harus mengembalikannya. Prosedur pengembalian uang tersebut diatur dengan jelas dalam kitab-kitab fiqih.
Sementara dalam hukum positif, menyalurkan uang haram tersebut ke sektor kemaslahatan umum atau fakir miskin dapat dianggap sebagai Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Ini ditegaskan dalam undang-undang yang mengatur tentang pencucian uang, dengan ancaman hukuman yang serius bagi pelakunya.
Dengan demikian, dalam kerangka fiqih maupun hukum positif, langkah yang tepat untuk uang suap politik yang diakui sebagai uang haram adalah dengan mengembalikannya kepada negara. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip fiqih yang menetapkan qadhi sebagai penengah dalam penyaluran harta yang bermasalah.
Dengan pemahaman yang jelas mengenai konsekuensi politik uang baik dari segi agama maupun hukum, diharapkan dapat membantu mengurangi praktik yang merugikan demokrasi dan masyarakat secara luas.