Memilih seorang pemimpin di berbagai tingkatannya merupakan hak setiap warga negara Indonesia yang diatur secara rinci dalam Undang-Undang Nomor 30/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pasal 43. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum harus dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Upaya apa pun yang mengancam hilangnya hak suara harus ditindak secara hukum, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003. Hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional. Pembatasan atau penghapusan hak suara merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara.
Dalam konteks Islam, memilih pemimpin merupakan kewajiban syariat yang disepakati oleh para sahabat dan tabi’in. Memilih pemimpin yang baik adalah bagian dari upaya bersama mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi rakyat. Sebaliknya, golput dapat merugikan kepentingan masyarakat luas.
Dari perspektif agama Islam, hak suara dipandang sebagai amanah yang harus dipenuhi. Menjalankan amanah dan menghindari khianat adalah prinsip yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Hak suara juga mencerminkan prinsip musyawarah dalam Islam, di mana pemimpin dipilih berdasarkan dukungan terbanyak.
Rasulullah menekankan pentingnya menjaga kepentingan bersama sebagaimana dalam perumpamaan kapal. Mementingkan urusan umat merupakan bagian dari iman seseorang.
Maka, menggunakan hak suara dalam pemilu bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga kewajiban agama dalam Islam. Melakukan golput tidaklah sesuai dengan ajaran Islam dan dianggap sebagai bentuk menyia-nyiakan amanah negara serta kepercayaan yang diberikan kepada kita sebagai warga negara.