Kepemilikan tanah memiliki peran vital dalam keberlangsungan hidup manusia, terutama dalam menjaga ketersediaan pangan di suatu negara di tengah semakin terbatasnya lahan pertanian. Indonesia telah mengambil langkah tepat melalui kebijakan redistribusi tanah guna mengurangi kesenjangan antarwilayah dan antarkelas sosial, yang didasari oleh filosofi kesejahteraan bagi rakyat.
Program redistribusi tanah, yang dikenal sebagai reformasi agraria, kembali menjadi sorotan pasca debat capres. Reformasi agraria ini mencakup penataan sistem politik dan hukum pertanahan serta keagrariaan. Langkah pertama dilakukan melalui mekanisme check and balances serta pengawasan yang ketat, sementara langkah kedua fokus pada peningkatan performa, kemanfaatan, dan produktivitas lahan masyarakat melalui investasi pemerintah.
Dalam perspektif Islam, anjuran redistribusi tanah oleh pemerintah dianggap penting. Prinsip tersebut tercermin dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Hasyr ayat 7 yang menekankan pentingnya distribusi yang adil agar kekayaan tidak hanya terkonsentrasi pada segelintir orang atau kelompok saja.
Konsep redistribusi tanah juga terkait dengan konsep ihya’ul mawat dalam Islam, dengan landasan hadits yang menegaskan pentingnya pengelolaan tanah yang tidak digarap. Para fuqaha juga menekankan kewajiban pemimpin negara untuk mendistribusikan tanah terlantar sesuai dengan kemampuan penerima.
Melalui MUNAS Alim Ulama & Konbes NU tahun 2017, para kiai menyatakan pentingnya kembalinya fungsi dasar tanah sebagai alat produksi untuk kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Mereka juga menekankan perlunya payung hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum dalam distribusi lahan melalui reformasi agraria.
Kesimpulannya, redistribusi tanah oleh pemerintah memiliki peran strategis dalam menciptakan pemerataan ekonomi, keadilan sosial, dan ketahanan pangan yang terkelola dengan baik. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan kesenjangan antarwilayah dan antarsosial dapat teratasi secara berkelanjutan.