Boncengan laki-laki dan perempuan telah menjadi topik yang kompleks dan sering diperdebatkan dalam masyarakat, termasuk dalam konteks tukang ojek. Namun, perlu kita pahami bahwa hukum boncengan ini sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah.
Dalam Islam, hukum boncengan antara laki-laki dan perempuan tergantung pada motif dan situasi yang terjadi. Jika seorang laki-laki membonceng mahramnya, hal tersebut diperbolehkan untuk mencegah terjadinya fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan.
Sementara itu, membonceng perempuan yang bukan mahram juga dapat diperbolehkan jika dapat dipastikan aman dari fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Imam Nawawi berdasarkan hadits Rasulullah yang membonceng Asma binti Abu Bakar.
Dalam konteks saat ini, ada dua poin penting yang perlu diperhatikan terkait boncengan laki-laki dan perempuan: (1) tidak terjadi khalwah (berduaan tanpa ikatan pernikahan) dan (2) tidak terjadi ikhtilath (bersentuhan badan).
Dilarang dalam Islam bagi laki-laki dan perempuan untuk berduaan di tempat sepi tanpa ikatan pernikahan, karena hal tersebut dapat membuka peluang untuk terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Namun, boncengan yang dilakukan di tempat ramai dan bukan dalam rangka berduaan tidak dianggap sebagai khalwah yang diharamkan.
Ikhthilath, yaitu bersentuhan badan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, juga harus dihindari. Dalam praktik ojek, asalkan tidak ada persentuhan kulit antara penumpang wanita dan tukang ojek, serta tidak ada tujuan negatif selama perjalanan, maka hukum membonceng wanita yang bukan mahramnya dapat diperbolehkan.
Dengan demikian, penting bagi kita untuk memahami hukum boncengan laki-laki dan perempuan dalam Islam dengan penuh kehati-hatian sesuai dengan ajaran agama. Selalu menjaga etika dan nilai-nilai yang telah ditetapkan dalam syariat Islam adalah kunci utama dalam setiap tindakan yang kita lakukan.