Di era digital saat ini, profesi content creator, termasuk influencer, menjadi salah satu pilihan karier yang diminati banyak orang. Seorang influencer memiliki pengaruh besar terhadap publik, baik secara online maupun offline. Mereka memiliki pengikut yang banyak di media sosial dan konten yang dibagikan mampu memengaruhi keputusan pembelian, opini, serta perilaku pengikutnya.
Influencer politik adalah salah satu ragam influencer yang muncul di tengah era politik saat ini. Mereka memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik terkait isu politik melalui platform media sosial seperti Instagram, Youtube, Twitter, Threads, dan TikTok. Di Indonesia, influencer politik berasal dari berbagai kalangan seperti selebritas, tokoh masyarakat, akademisi, dan aktivis digital. Mereka memanfaatkan media sosial untuk menjangkau jutaan orang dan menyebarkan pesan politik dengan cepat.
Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Timur telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa penghasilan seorang content creator (influencer) halal menurut dalil asalnya. Namun, tentu saja ada catatan yang harus dipenuhi agar penghasilan tersebut tetap halal, seperti mematuhi ketentuan yang berlaku dalam akad yang membentuknya dan tidak melakukan larangan syar’i.
Dalam konteks influencer politik, akad yang terjadi antara influencer dan tokoh publik merupakan akad ijarah, yaitu akad sewa-menyewa di mana influencer menyewakan jasanya untuk mempromosikan tokoh publik kepada masyarakat atau konstituennya. Influencer bertindak sebagai pihak penyewa yang menyewakan jasanya untuk mempromosikan tokoh publik, sedangkan tokoh publik bertindak sebagai pihak penyewa yang menyewa jasa influencer untuk mempromosikan dirinya kepada khalayak atau konstituen yang akan memilihnya.
Ada 9 hal yang dilarang bagi seorang influencer politik, seperti menjual atau mempromosikan barang dan jasa yang dilarang agama, mengajak melakukan perbuatan terlarang oleh syara’, menipu orang lain, menebarkan informasi palsu, mengandung unsur porno aksi atau pornografi, serta konten yang menghina sesama Muslim. Melalui etika dan norma yang harus dijunjung tinggi, diharapkan influencer politik mampu menjalankan peran mereka secara bertanggung jawab dan bermanfaat bagi masyarakat.
Fatwa tentang kebolehan menjadi influencer politik dalam Islam tidak bersifat mutlak. Norma dan etika harus senantiasa dijunjung tinggi agar peran influencer politik dapat memberikan dampak positif dalam percaturan politik dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.