- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Hukum Islam tentang Penggunaan Zat Pewarna dari Kulit Serangga dalam Makanan

Google Search Widget

Fatwa yang dikeluarkan oleh Otoritas Fatwa Mesir, Darul Ifta al-Mishriyah, pada 23 Januari 2011, menarik perhatian terkait dengan penggunaan zat pewarna yang diekstrak dari kulit serangga dalam makanan dan permen, seperti Red 40 yang berasal dari cangkang serangga berwarna merah.

Dalam perspektif hukum Islam, penggunaan zat pewarna ini diizinkan selama tidak membahayakan kesehatan manusia. Konsep istihalah, yaitu transformasi atau perubahan zat dari sifat aslinya sehingga sifat najis atau menjijikan hilang, menjadi dasar hukum syara’ dalam hal ini. Zat pewarna yang diekstrak dari kulit serangga mengalami perubahan kimia dan fisika yang membuatnya suci dan halal untuk dikonsumsi.

Meskipun mayoritas fuqaha’ mengharamkan memakan serangga karena dianggap menjijikkan atau najis, Madzhab Maliki memperbolehkan konsumsi serangga dengan syarat disembelih. Penyembelihan dapat dilakukan dengan cara apapun yang dapat mematikan serangga tersebut.

Pandangan lain menyatakan bahwa mengambil serangga dianggap sebagai bentuk penyembelihan, sehingga serangga tersebut dapat dikonsumsi jika mati setelah diambil tanpa perlakuan sebelumnya. Beberapa ulama juga menyebutkan daftar hewan-hewan lain yang boleh dikonsumsi seperti kalajengking, kumbang, kutu, kecoa, semut, ulat, dan ngengat.

Dalam konteks ini, penting untuk memastikan bahwa penggunaan zat pewarna dari kulit serangga dalam makanan tidak membahayakan kesehatan manusia. Keputusan akhir tetap berada pada kewaspadaan dan pertimbangan terhadap aspek kesehatan. Semoga penjelasan ini memberikan gambaran yang lebih jelas terkait hukum Islam terkait penggunaan zat pewarna dalam makanan.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

January 13

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?