Belakangan ini, fenomena terlantarnya sebagian warga dari perhatian masyarakat sekitar sering terjadi. Mulai dari dhu’afa yang kekurangan namun luput dari bantuan, ibu yang terpaksa mencuri demi memenuhi kebutuhan anak-anaknya, hingga kelaparan di kelompok masyarakat daerah tertentu, semuanya menggugah rasa kemanusiaan siapa pun yang mendengarnya.
Pertanyaan muncul, bagaimana kepedulian sosial dapat ditanamkan di kalangan umat Islam untuk mengantisipasi hal tersebut?
Di sisi lain, umat Islam dikenal dengan ajarannya untuk memperhatikan masyarakat yang lemah. Hampir semua ibadah yang bersifat sosial memiliki tempat yang khusus dalam ajaran Islam. Bahkan dalam aspek ibadah yang bersifat umum, para ulama telah mengaplikasikannya dengan kreatif dan tidak jarang mengaitkannya dengan tradisi lokal. Kesesuaian ajaran Islam dengan perhatian sosial masyarakat di berbagai penjuru dunia seringkali melahirkan budaya dan tradisi unik yang patut untuk dipelajari.
Salah satu tradisi Islami yang mampu membangun kepedulian sosial adalah maulid Nabi. Melalui perayaan ini, pelestarian budaya dan kepekaan sosial dapat diimplementasikan dalam kerangka tradisi setempat.
Salah satu contohnya terjadi di Uzbekistan, Asia Tengah. Di negara tersebut, maulid Nabi menjadi salah satu sarana untuk memperkuat jaringan sosial.
Mengapa tradisi maulid di Uzbekistan menarik untuk diamati? Hal ini tidak lepas dari manfaat yang dirasakan masyarakat yang mengikuti perayaan maulid di sana. Peran ulama dalam mengintegrasikan maulid dengan kegiatan tradisional di Uzbekistan juga cukup unik. Modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat di sana dikembangkan dengan nilai-nilai Islami yang terdapat dalam acara maulid Nabi.
Negara pecahan Uni Soviet tersebut pada awalnya adalah negara Islam. Setelah diduduki oleh Uni Soviet yang berideologi komunis, ulama Islam di sana harus merancang berbagai strategi agar ajaran Islam tetap lestari. Setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 90-an dan Uzbekistan merdeka, kehidupan budaya Islam mulai bangkit kembali di sana. Salah satu usaha yang dilakukan adalah menyelipkan tradisi Islami dalam program-program yang digalakkan oleh pemerintah setempat.
Karakter gotong-royong masyarakat Uzbekistan tercermin melalui adanya paguyuban yang bekerja secara komunal. Khusus untuk kaum wanita, perkumpulan warga dinamakan mahalla dan telah diberdayakan sehingga memegang peran sosial yang penting. Pada kesempatan tertentu, mereka berkumpul dan dipimpin oleh ulama perempuan yang disebut otincha, dan kegiatannya diisi dengan aktivitas Islami, termasuk pembacaan maulid Nabi yang khusus untuk kaum perempuan.
Fenomena maulid khusus untuk perempuan telah lama menjadi objek penelitian para ahli. Salah satunya adalah Nancy Tapper (1983) yang menyatakan bahwa maulid memperkuat hubungan kesetaraan dan solidaritas di kalangan perempuan.
Hasil penelitian di Turki tersebut ternyata sejalan dengan fakta di Uzbekistan, di mana pembacaan maulid khusus untuk perempuan dihadiri oleh lansia dan para janda. Mereka memiliki waktu luang karena sudah tidak bekerja, serta merasakan kesamaan nasib dan kebutuhan sebagai perempuan yang memerlukan dukungan sosial. Wanita lansia dan para janda ini dilayani dengan baik oleh wanita yang lebih muda sebagai aktualisasi nilai-nilai maulid untuk menyantuni mereka.
Deniz Kandiyoti dan Nadira Azimova menggambarkan suasana maulid khusus perempuan di Uzbekistan sebagai acara komunal di mana otincha dan kaum wanita menyiapkan konsumsi di mahalla. Terdapat petugas khusus konsumsi disebut dastarhanji. Meskipun kelahiran Nabi diasumsikan pada tanggal kedua belas Rabiul Awwal dalam kalender Hijriah, maulid diadakan selama empat bulan berikutnya dan melibatkan seluruh mahalla.
Karena acara maulid tersebut ditujukan khusus untuk perempuan, pelaksanaannya bukan pada malam hari tapi siang hari, hanya untuk perempuan (dimulai sekitar tengah hari hingga sore hari). Acara ini melibatkan tetangga dan kerabat, biasanya dalam kelompok dua puluh perempuan. Maulid dimulai dengan pemberian makanan, dengan dastarhanji menyajikan roti, manisan, dan buah-buahan dalam jumlah genap.
Aktivitas ini memberikan dukungan sosial dengan memberikan perhatian kepada gizi wanita lanjut usia dan para janda. Perlindungan sosial semacam ini merupakan bentuk nyata pengamalan ajaran maulid sesuai dengan akhlak Nabi Muhammad saw.
Setelah teh disajikan, otincha memulai pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Pembacaan tersebut ditujukan untuk semua hadirin serta orang-orang yang menyelenggarakan acara agar mendapat berkah. Wanita lanjut usia berpartisipasi dalam maulid sementara wanita lebih muda memberikan pelayanan kepada mereka.
Pemberian hadiah setelah acara maulid juga menjadi hal unik. Banyak makanan dan kebutuhan pokok dikumpulkan oleh mahalla kemudian didistribusikan kepada hadirin maupun yang tidak sempat hadir. Wanita yang tidak bisa hadir biasanya adalah mereka yang bekerja membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga.
Sebagai bentuk solidaritas sosial, bingkisan berupa bahan kebutuhan pokok seperti beras, roti, susu, permen, dan kosmetik diberikan kepada wanita dan anak-anak yang tidak bisa hadir. Dengan adanya bingkisan tersebut, wanita yang bekerja mendapat bantuan sosial untuk dirinya dan anak-anaknya. Hadiah itu dianggap penuh berkah karena telah didoakan pada acara maulid Nabi. Makanan dari acara maulid sering digunakan sebagai penyembuhan holistik untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani seluruh anggota keluarga.
Praktik maulid Nabi di Uzbekistan yang diselenggarakan khusus oleh perempuan menunjukkan upaya nyata sebagai bentuk perlindungan dan kepedulian sosial. Inspirasi ini dapat ditiru oleh umat Islam di Indonesia dengan dukungan ulama, terutama ulama perempuan.