Bulan Rabiul Awal memiliki makna mendalam bagi umat Islam, terutama karena di bulan tersebut, Nabi Muhammad saw dilahirkan. Perayaan hari kelahiran Nabi ini dirayakan oleh umat Islam di seluruh dunia sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan terhadap manusia terbaik sepanjang zaman.
Menurut Imam Jalaluddin as-Suyuthi, perayaan maulid Nabi merupakan perbuatan bid’ah hasanah. Artinya, meskipun merupakan perbuatan baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan para sahabat, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak bertentangan dengan ajaran agama. Oleh karena itu, orang yang merayakan maulid nabi akan mendapatkan pahala karena mengagungkan keagungan Nabi dan bahagia atas kelahirannya.
Imam as-Suyuthi menjelaskan bahwa sejarah perayaan maulid Nabi bermula dari penguasa Irbil, Raja Mudhaffar Abu Said Kuukuburi bin Zainuddin Ali ibn Buktitin, yang merupakan sosok raja saleh dan taat dalam menjalankan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Setiap tahun pada tanggal 12 Rabiul Awal, Raja Mudhaffar selalu mengundang banyak orang untuk merayakan hari kelahiran Nabi dengan jamuan yang meriah sebagai bentuk penghormatan.
Imam Jalaluddin as-Suyuthi sendiri adalah seorang ulama yang hidup pada abad kesembilan Hijriah. Ia bermazhab Syafi’iyah dan dikenal sebagai ahli fiqih dan hadits pada masanya. Selain itu, Imam as-Suyuthi juga dikenal sebagai penulis yang sangat produktif dengan jumlah karya mencapai 500 judul, termasuk di antaranya adalah kitab Al-Itqan fi Ulumil Qur’an, Ad-Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, dan lain-lain.
Dengan demikian, perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad atau maulid memiliki makna yang mendalam bagi umat Islam. Dari perspektif Imam Jalaluddin as-Suyuthi, perayaan ini merupakan upaya untuk menghormati dan mengagungkan keberkahan kelahiran manusia terbaik, Nabi Muhammad saw.
