Merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW telah menjadi tradisi umat Islam di seluruh dunia setiap tahunnya. Namun, perayaan ini sering menimbulkan perdebatan mengenai keabsahannya dalam agama. Syekh Ali Jum’ah, mantan mufti agung Mesir, memberikan pandangannya mengenai hukum merayakan maulid Nabi.
Menurut Syekh Ali Jum’ah, merayakan maulid Nabi adalah bentuk ekspresi senang dan bahagia atas nikmat terbesar yang Allah berikan kepada umat Islam, yaitu utusan-Nya sebagai rahmat bagi alam semesta. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk ibadah yang paling disenangi oleh Allah, karena mencintai Nabi adalah bagian dari keyakinan seseorang.
Syekh Ali Jum’ah menjelaskan bahwa merayakan maulid Nabi merupakan pemuliaan dan pengagungan kepada Rasulullah yang dianjurkan dalam syariat Islam. Ia menegaskan bahwa memuliakan Nabi tidak perlu dipertanyakan lagi, karena hal tersebut sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran agama.
Dalam konteks sejarah, perayaan maulid Nabi bukanlah tradisi baru. Sudah sejak abad keempat atau kelima Hijriah para ulama salafus shalih merayakan malam kelahiran Nabi dengan berbagai ibadah sunnah seperti sedekah, membaca Al-Qur’an, dzikir, bershalawat, serta menyanyikan pujian kepada Nabi.
Syekh Ali Jum’ah juga mengutip pendapat beberapa ulama yang membolehkan perayaan maulid Nabi, seperti Imam as-Suyuthi dan Imam Syamsuddin al-Jazairi. Mereka menegaskan bahwa merayakan maulid Nabi dengan cara yang baik merupakan perbuatan yang mendapat pahala, karena menunjukkan pengagungan terhadap keagungan Nabi dan kebahagiaan atas kelahirannya yang mulia.
Secara keseluruhan, hukum merayakan maulid Nabi menurut pandangan Syekh Ali Jum’ah adalah perbuatan sunnah yang sesuai dengan ajaran Islam. Namun, ia juga menegaskan pentingnya menjaga kesakralan acara maulid agar tidak terjatuh dalam kemaksiatan. Dengan demikian, merayakan maulid Nabi dapat menjadi wujud cinta dan penghormatan yang sesuai dengan ajaran agama Islam.