Konflik agraria di Indonesia merupakan masalah yang terus berkecamuk di tengah masyarakat. Dari konflik tanah hingga konflik sosial yang melibatkan perusahaan, pemerintah, dan masyarakat, persoalan ini terus berlanjut tanpa titik terang yang jelas.
Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan bahwa konflik agraria di Indonesia cenderung meningkat setiap tahun. Pada tahun 2022 saja, tercatat ada 212 kasus konflik agraria, dengan sektor perkebunan menyumbang kasus terbanyak, yakni sekitar 99 kasus. Diikuti oleh sektor infrastruktur, properti, pertambangan, kehutanan, dan sektor lainnya.
Salah satu contoh nyata dari konflik agraria adalah kasus di Pulau Rempang, Batam, dimana rencana penggusuran untuk proyek Rempang Eco City memicu bentrokan antara aparat keamanan dan masyarakat setempat. Konflik ini menggambarkan ketegangan antara hak dan kepentingan masyarakat dengan rencana pembangunan pemerintah atau swasta.
Pentingnya penyelesaian konflik agraria secara adil dan transparan juga ditekankan dalam Muktamar NU ke-34. NU menegaskan bahwa perampasan tanah rakyat oleh negara adalah tindakan yang haram dan dapat menimbulkan konflik sosial serta instabilitas keamanan. Tanah sebagai sumber kehidupan masyarakat harus dilindungi hak-haknya sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dalam konteks hukum Islam, perampasan tanah rakyat juga tidak dibenarkan. Negara harus bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan hukum serta ganti rugi yang adil kepada masyarakat yang tanahnya dirampas untuk kepentingan umum.
Dengan demikian, penyelesaian konflik agraria harus memperhatikan hak-hak masyarakat dan memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan tidak merugikan masyarakat. Upaya-upaya perlindungan hak atas tanah rakyat perlu terus ditingkatkan agar kedamaian dan keadilan dapat terwujud dalam masyarakat.