Seorang wanita yang sedang hamil, terutama pada trimester awal, sering mengalami fenomena yang dikenal sebagai “ngidam”. Saat ngidam, wanita hamil sering kali menginginkan makanan atau minuman yang mungkin tergolong ‘aneh’ atau diluar kebiasaan sehari-hari mereka. Hal ini dapat membuat seorang suami harus bersusah payah untuk memenuhi keinginan ngidam dari sang istri.
Dalam perspektif fiqih, apakah seorang suami wajib memenuhi permintaan istri yang sedang ngidam? Imam Ramli (wafat 1004 H) dalam karyanya, Nihayatul Muhtaj, menjelaskan bahwa seorang suami sebaiknya menuruti keinginan istri yang sedang ngidam. Hal ini termasuk memenuhi kebutuhan istri seperti membelikan kopi atau makanan asam yang diinginkan saat ngidam. Pemenuhan kebutuhan buah-buahan, kopi, dan lainnya selama istri ngidam dianggap sebagai bagian dari tanggung jawab suami yang harus dilaksanakan dengan baik.
Seorang ulama kontemporer, Syekh Athiah Muhammad Shaqr (wafat 2006), juga menjelaskan bahwa nafkah suami terhadap istrinya adalah kewajiban yang sudah jelas dalam ajaran agama. Nafkah tersebut meliputi pangan, sandang, dan papan. Salah satu bentuk muasyarah bil ma’ruf (mempergauli dengan baik) yang diperintahkan Allah kepada suami adalah memastikan nafkah terpenuhi sesuai dengan kebutuhan istri, termasuk saat istri sedang ngidam.
Dari penjelasan beliau, dapat disimpulkan bahwa suami wajib memenuhi keinginan istri yang sedang ngidam karena hal tersebut merupakan bagian dari nafkah yang harus ditunaikan. Selain itu, pemenuhan keinginan istri saat ngidam juga dapat berdampak pada kesejahteraan janin. Tentunya, kewajiban ini berlaku asalkan keinginan istri sesuai dengan norma-norma agama dan adat. Suami juga diharapkan untuk menciptakan suasana yang menyenangkan bagi istri selama masa kehamilan dan menyusui.
Dengan demikian, memenuhi keinginan istri yang sedang ngidam bukan hanya sekadar tugas suami, tetapi juga merupakan upaya untuk melindungi kesejahteraan istri dan janin serta menjalankan muasyarah bil ma’ruf sebagaimana ajaran agama.