Haid atau menstruasi merupakan salah satu hal yang kompleks bagi wanita. Selama masa haid, wanita perlu sangat berhati-hati dalam mengenali jenis darah yang keluar, karena bisa saja darah yang dikeluarkan bukan berasal dari haid, melainkan dari istihadhah atau sebaliknya. Dua jenis darah inilah yang sering kali muncul dari organ intim wanita.
Selama masa haid, wanita tidak diperbolehkan untuk melakukan ibadah-ibadah tertentu yang biasanya diperbolehkan bagi wanita non-haid, seperti shalat, puasa, menyentuh Al-Qur’an, thawaf, dan hubungan suami istri. Namun, wanita yang sedang istihadhah memiliki hukum yang sama seperti wanita pada umumnya. Mereka tetap wajib untuk menjalankan ibadah seperti shalat, puasa, boleh menyentuh dan membawa Al-Qur’an, serta melakukan hal lainnya.
Allah SWT melarang interaksi antara manusia dengan wanita yang sedang haid sampai mereka bersuci dari hadats besar. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 222.
Para ulama telah merumuskan aturan yang sangat rinci terkait dengan masa haid, termasuk mengenai jenis darah, lamanya masa haid, serta sifat-sifatnya. Contohnya, ulama dari mazhab Syafi’iyah menyatakan bahwa durasi minimal darah haid adalah 24 jam atau satu hari satu malam jika darah terus keluar tanpa henti. Umumnya, masa haid berlangsung selama 6 hingga 7 hari, namun bisa juga maksimal 15 hari.
Rumusan-rumusan mengenai masa dan lamanya haid yang dibuat para ulama didasarkan pada hasil observasi terhadap kebiasaan wanita pada masa itu terkait dengan siklus haid. Para ulama melakukan perjalanan untuk mengetahui kebiasaan wanita yang mengalami menstruasi dengan tujuan untuk menetapkan hukum secara universal terkait dengan darah haid.
Dari hasil observasi tersebut, para ulama kemudian membuat rumusan mengenai masa haid yang telah berlaku hingga saat ini. Hal ini dikenal dengan istilah istiqra’.
Menurut Imam ar-Rafi’i, landasan aturan terkait masa haid ini didasarkan pada pengamatan yang sudah diketahui. Mereka menetapkan bahwa jika seorang wanita mengalami pendarahan kurang dari 24 jam atau lebih dari 15 hari, maka darah yang keluar bukanlah darah haid melainkan istihadhah, sehingga wanita tersebut tetap wajib menjalankan ibadahnya.
Imam Abdurrahman Jalaluddin as-Suyuthi dalam karyanya menjelaskan bahwa rumusan ulama mazhab Syafi’iyah terkait metode penentuan masa dan lamanya haid berdasarkan istiqra’ didasarkan pada prinsip bahwa kebiasaan bisa dijadikan patokan dalam menetapkan hukum.
Dengan prinsip ini, para ulama menyimpulkan bahwa adat dapat dijadikan pijakan hukum. Hal ini didukung oleh perkataan Ibnu Mas’ud bahwa apa pun yang dianggap baik oleh umat Islam, maka Allah juga menganggapnya sebagai kebaikan.
Demikianlah penjelasan mengenai darah haid dan dasar istiqra’ dalam menentukan masa haid. Semoga informasi ini bermanfaat bagi pembaca.