Hukum positif dalam suatu negara memiliki peran yang vital dalam mengatur kehidupan warga negara. Meskipun demikian, masih terdapat sebagian orang yang menyatakan keberatan terhadap hukum-hukum tersebut dengan mengacu pada Al-Qur’an, As-Sunnah, serta kitab-kitab hukum karangan ulama.
Dalam pandangan fiqih siyasah, konsep siyasah sendiri, sebagaimana yang didefinisikan oleh Ibnu Aqil, adalah upaya untuk mendekatkan manusia pada kemaslahatan dan menjauhkannya dari kerusakan.
Menurut definisi yang disampaikan oleh Ibnu Aqil, esensi utama dari politik adalah menghadirkan kemaslahatan bagi manusia dan menjauhkannya dari kerusakan, meskipun hal tersebut tidak secara langsung terdapat dalam teks-teks agama.
Dalam konteks legalitas hukum positif dalam perspektif fiqih siyasah, terdapat rumusan ideal yang dihasilkan dalam Keputusan Bahtsul Masa`il Maudhu’iyah Munas NU 2019 di PP Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo Kota Banjar Jawa Barat, pada 27 Februari – 1 Maret 2019.
Berdasarkan Munas NU 2019, hukum positif seperti Undang-Undang atau kebijakan negara yang lahir dari proses politik modern dianggap sebagai bagian dari kesepakatan bersama masyarakat. Dalam perspektif fiqih, kebijakan negara dinilai dari sejauh mana kesesuaiannya dengan nilai-nilai Islam.
Pertama, apabila suatu undang-undang atau kebijakan negara tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka kepatuhannya dianggap mengikat (mulzim syar’i) dan harus ditaati. Syekh Nawawi Banten menyatakan bahwa ketika pemerintah memerintahkan hal yang wajib, maka kewajiban tersebut semakin kuat. Sedangkan jika memerintahkan hal sunnah, maka menjadi wajib. Dan apabila memerintahkan hal mubah, maka jika terdapat kemaslahatan umum di dalamnya, maka wajib ditaati. Namun, jika memerintahkan hal yang haram atau makruh, atau hal mubah tanpa kemaslahatan umum di dalamnya, maka tidak wajib ditaati.
Kedua, apabila suatu undang-undang atau kebijakan negara bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka tidak wajib ditaati. Hukum positif semacam ini perlu diluruskan dengan cara yang bersifat konstitusional dan tidak boleh dijadikan alasan untuk melawan pemerintah yang sah.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, meskipun terdapat ketidaksetujuan, tetap patuh terhadap aturan pemerintah merupakan kewajiban bagi seorang Muslim.
Dengan demikian, menurut fiqih yang dianut oleh Nahdlatul Ulama, hukum positif menemukan legalitasnya dalam pandangan Islam selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Hukum positif yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam perlu diluruskan secara konstitusional, sementara ketidaksetujuan terhadap beberapa aspek hukum positif tidak boleh menjadi alasan untuk bertindak di luar kerangka hukum yang telah disepakati.