Berbagai pandangan ulama mengenai hukum mabit di Muzdalifah dan Mina menjadi perbincangan menarik dalam konteks pelaksanaan ibadah haji. Sebagian ulama memandang bahwa mabit di kedua tempat tersebut termasuk sebagai bagian penting dari rukun haji. Di sisi lain, pendapat lain menyatakan bahwa mabit di Muzdalifah dan Mina merupakan kewajiban bagi jamaah haji. Namun, ada juga ulama yang berpendapat bahwa mabit di dua tempat tersebut hanyalah bersifat sunnah dalam pelaksanaan haji.
Tak peduli pendapat mana yang diikuti, jamaah haji tetap diharapkan untuk melaksanakan mabit di Muzdalifah dan Mina sesuai dengan pandangan ulama yang mereka anut. Bagi jamaah haji tanpa uzur atau halangan tertentu, melaksanakan mabit di kedua tempat tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah haji.
Dalam konteks ini, bagi jamaah haji yang memiliki uzur, seperti lansia, atau menghadapi risiko tertentu, serta mereka yang menjalani jadwal manasik yang telah ditetapkan pemerintah, tidak terdapat konsekuensi berarti ketika memutuskan untuk tidak melaksanakan mabit di Muzdalifah dan Mina.
Mazhab Syafi’i, misalnya, memberikan pemahaman bahwa jamaah haji dengan uzur tidak perlu memaksakan diri untuk melaksanakan mabit di dua tempat tersebut. Sebaliknya, keputusan untuk tidak melaksanakan mabit dianggap sebagai keringanan dalam syariat Islam guna menghindari kesulitan yang dapat dihadapi oleh jamaah haji yang bersangkutan.
Dalam situasi tertentu, seperti ketika jamaah haji tiba di Arafah pada malam Nahar atau bergeser dari Arafah ke Makkah untuk tawaf ifadhah setelah tengah malam, maka ketidakmampuan melaksanakan mabit di Muzdalifah dan Mina karena uzur tidak menimbulkan kewajiban apapun bagi jamaah haji tersebut. Imam Al-Qaffal bahkan menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi mereka yang terlalu sibuk dengan ibadah lain seperti tawaf.
Dalam perspektif Mazhab Syafi’i, jamaah haji yang termasuk dalam kategori memiliki uzur adalah mereka yang khawatir kehilangan bekal harta atau terlantar jika terlalu fokus pada pelaksanaan mabit. Selain itu, jamaah haji yang sakit atau terlibat dalam urusan mendesak lainnya juga termasuk dalam kategori tersebut. Bagi mereka, ketidakmampuan melaksanakan mabit tidak akan mendapatkan sanksi karena adanya keringanan dalam syariat.
Jamaah haji yang dengan sengaja memaksakan diri untuk melaksanakan mabit meskipun memiliki uzur berpotensi menemui kesulitan sendiri dan dapat mengganggu kelancaran rombongan atau petugas haji. Padahal, syariat telah memberikan kemudahan bagi mereka yang dalam kondisi tersebut. Semoga informasi ini bermanfaat bagi para jamaah haji yang berkeinginan untuk menjalankan ibadah dengan penuh keikhlasan dan kemudahan yang telah diberikan dalam ajaran agama.