Dalam dunia keilmuan, penting untuk memahami bahwa setiap individu, seberapa pun berilmunya, tetap memiliki keterbatasan pengetahuan. Hal ini tercermin dalam praktik ulama dan kiai-kiai yang sering mengakhiri ceramah atau kajian dengan frasa ‘wallahu a’lam’, yang mengandung makna bahwa hanya Allah-lah yang Maha Mengetahui segalanya.
Ayat suci QS. Yusuf: 76 juga menegaskan konsep ini, bahwa di atas setiap orang yang berpengetahuan, pasti ada Yang Maha Mengetahui. Hal ini mengingatkan kita bahwa bahkan seorang yang sangat berilmu sekalipun, tetap memiliki keterbatasan pengetahuan.
Sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Athaillah, menunjukkan kebodohan seseorang dalam mencari kebenaran hanya dengan berlandaskan logika akal semata. Begitu pula dengan Abdullah bin Mas’ud yang menyatakan bahwa orang yang memberikan fatwa untuk segala hal tanpa pertimbangan adalah seorang yang tidak waras.
Ketika seseorang tidak dapat menjawab suatu pertanyaan, apakah lebih baik untuk mengatakan ‘saya tidak tahu’ atau ‘wallahu a’lam’? Pendapat yang berbeda-beda muncul dari para ulama, namun pada dasarnya keduanya dianggap penting. Mengungkapkan ketidakmampuan dalam menjawab pertanyaan juga merupakan suatu bentuk ilmu.
Dalam hadits shahih, disebutkan bahwa menyatakan ‘saya tidak tahu’ juga merupakan bagian dari ilmu itu sendiri. Imam Nawawi bahkan menegaskan bahwa mengaku tidak tahu tidak akan merendahkan martabat seorang alim, melainkan menunjukkan kedalaman pengetahuannya.
Menyimpulkan dari berbagai kutipan ulama dan hadits yang disebutkan, baik ‘saya tidak tahu’ maupun ‘wallahu a’lam’ memiliki nilai yang sama pentingnya dalam menghormati keterbatasan pengetahuan manusia. Dalam menyampaikan ilmu, sikap rendah hati dan pengakuan terhadap keterbatasan pengetahuan merupakan sikap yang mulia dan perlu dikedepankan.
Dengan demikian, penting bagi setiap individu yang berada dalam ranah keilmuan untuk selalu mengutamakan sikap rendah hati dan kesadaran akan keterbatasan pengetahuan manusia. Wallahu a’lam.