Keong sawah, tutut, atau kraca hitam sering menjadi pilihan menu berbuka puasa yang lezat bagi masyarakat. Diolah dengan bumbu rempah-rempah berkuah atau dijadikan sate keong, hidangan ini populer di Bulan Ramadhan dan dijajakan oleh para pedagang makanan di sore hari. Meski demikian, masih ada pertanyaan seputar kehalalan keong sawah ini, terutama dalam konteks sertifikasi halal.
Masyarakat yang mempertanyakan kehalalan keong sawah menemukan jawabannya dalam Kitab ‘Aisyul Bahri karya Kiai Muhammad Anwar. Dalam kitab tersebut, keong termasuk dalam hewan air yang halal untuk dikonsumsi. Penelitian empiris juga menunjukkan bahwa keong tidak dapat bertahan hidup lama di darat tanpa adanya air.
Pendapat Kiai Anwar sejalan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan keong halal dan membedakannya dengan bekicot yang haram. MUI menegaskan bahwa keong termasuk dalam hewan akuatik yang habitatnya berair, sehingga tidak menimbulkan keraguan bagi kaum muslimin yang mengonsumsinya.
Bagi pelaku usaha atau UMKM yang menghasilkan produk berbahan baku keong sawah, program sertifikasi halal gratis dari pemerintah dapat menjadi solusi. Meskipun tidak disebutkan secara spesifik dalam regulasi, keong sebagai moluska air tawar masuk dalam kategori produk perikanan yang dapat disertifikasi halal melalui program SEHATI.
Dengan demikian, bagi masyarakat yang menikmati keong sawah atau kraca untuk berbuka puasa, serta para pelaku usaha yang menjadikan keong sebagai produk andalan, dapat memperoleh keyakinan terkait kehalalan dan sertifikasi halal melalui acuan Kitab ‘Aisyul Bahri dan fatwa MUI. Semua ini menjadi panduan yang jelas dalam menjaga keberkahan serta kehalalan konsumsi pangan sehari-hari.