Shalat Jumat merupakan ibadah yang penting dalam agama Islam, terdiri dari dua rakaat dan dilaksanakan pada waktu Zuhur di hari Jumat dengan dua khutbah sebelumnya. Dalam Islam, shalat Jumat termasuk kategori fardhu ‘ain, yakni kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap individu yang mampu melaksanakannya.
Kewajiban shalat Jumat didasari oleh dalil pasti (nash qathi’), sehingga meninggalkan shalat Jumat dengan sengaja dapat mendatangkan dosa besar. Qur’an menegaskan pentingnya shalat Jumat dalam surat Al-Jumu’ah ayat 9. Selain itu, hadis Nabi saw juga memperjelas kewajiban shalat Jumat bagi umat Islam.
Pada umumnya, shalat Jumat dilakukan di masjid atau surau yang dihadiri oleh penduduk sekitar. Namun, belakangan ini banyak instansi sekolah, perkantoran, dan pabrik yang mengadakan shalat Jumat sendiri karena berbagai alasan seperti kesibukan sekolah atau efisiensi kerja. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah sah melaksanakan shalat Jumat di tempat-tempat tersebut, mengingat syarat sahnya harus dilakukan oleh penduduk setempat (mustauthin).
Menurut Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari dan Ibnu Hajar Al-Haitami, shalat Jumat tidak sah dilakukan oleh orang non-Muslim, wanita, anak kecil, atau orang sakit. Selain itu, shalat Jumat juga harus dilakukan di tempat tinggal penduduk tetap setempat. Pendapat ini didasarkan pada tindakan Nabi saw saat melaksanakan haji di Arafah.
Pendapat ulama mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali menegaskan bahwa hukum mendirikan shalat Jumat di instansi sekolahan dan perkantoran yang mayoritas karyawan bukan penduduk setempat adalah tidak sah. Mereka berpendapat bahwa salah satu syarat keabsahan shalat Jumat adalah dilakukan di pemukiman yang dihuni oleh penduduk tetap setempat. Namun, ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa shalat Jumat tetap sah dilakukan meskipun oleh orang musafir yang berdomisili di tempat tersebut.
Dalam kesimpulan, hukum mendirikan shalat Jumat di instansi sekolahan dan perkantoran yang mayoritas karyawan bukan penduduk setempat menurut mayoritas ulama mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali adalah tidak sah. Namun, menurut ulama mazhab Hanafi hukumnya tetap sah.