Dalam ajaran Islam, konsep niat memiliki peran yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hukum fiqih. Salah satu kaidah fiqih yang terkenal adalah “Semua perkara tergantung pada tujuannya.” Hal ini menggambarkan betapa pentingnya niat dalam setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang Muslim.
Perbedaan mendasar antara “niat” dan “maksud” dapat dijelaskan sebagai berikut: niat umumnya disampaikan dalam bentuk lafal sebelum melakukan suatu pekerjaan, sementara “qashdu” atau maksud disampaikan bersamaan dengan memulai pekerjaan tersebut. Dalam konteks shalat, misalnya, Imam As-Syafi’i menyatakan bahwa niat harus disampaikan bersamaan dengan takbir saat memulai shalat, yang mengindikasikan kesengajaan untuk melaksanakan shalat.
Dalam transaksi syariah, terdapat perbedaan antara niat dan qashdu yang seringkali sulit untuk dibedakan. Namun, dalam fiqih madzhab Syafi’i, niat dalam transaksi baru dianggap sah ketika terjadi kesepakatan jual beli antara kedua pihak. Hal ini tercermin dalam pelaksanaan akad dengan shighat ijab dan qabul yang menandai awal berlakunya transaksi.
Pentingnya pemahaman mengenai niat dan maksud juga terlihat dalam praktik jual beli mu’athah, di mana transaksi dapat dilakukan tanpa shighat ijab dan qabul secara eksplisit. Namun, prinsip kehati-hatian tetap ditegakkan, terutama untuk transaksi dengan nilai besar agar tidak menimbulkan kerugian pada salah satu pihak.
Konsep ‘urf atau kebiasaan dalam masyarakat juga memainkan peran penting dalam menentukan sah tidaknya suatu akad. Meskipun dalam konteks tertentu seperti sinetron, serah terima barang dan harga tidak dianggap sebagai akad jual beli yang sah karena konteksnya bukan untuk transaksi nyata.
Dengan memahami prinsip-prinsip ini, diharapkan umat Islam dapat menjalankan setiap perbuatan dengan niat yang tulus dan memahami kaidah-kaidah fiqih yang mengatur setiap aspek kehidupan mereka. Semoga artikel ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pentingnya niat dan qashdu dalam praktik keagamaan sehari-hari.