Syariat Islam mengajarkan kesatuan antara teologi dalam hati nurani dan fiqih dalam perbuatan. Hal ini tercermin dalam pendefinisian hukum wajib dan haram dalam kajian ushul fiqih menurut Imam Jalaluddin Al-Mahalli.
Menurut Imam Al-Mahalli, wajib adalah perbuatan yang mendapat pahala jika dilakukan dan sanksi jika ditinggalkan. Sanksi tersebut dianggap sah jika diberlakukan kepada satu pendosa beserta pengampunan bagi yang lain. Sementara haram adalah perbuatan yang mendapat pahala jika ditinggalkan atas dasar ketakwaan dan sanksi jika dilakukan.
Dalam konteks ini, terdapat perdebatan teologis antara Mu’tazilah dan Asyariyah. Mu’tazilah meyakini bahwa Allah pasti memberikan pahala bagi orang takwa dan menyiksa para pendosa, sementara Asyariyah meyakini bahwa Allah tidak terikat untuk melaksanakan janji-Nya terhadap makhluk-Nya.
Perdebatan ini diulas oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Iqtishad, menyoroti batalnya pendapat Mu’tazilah tentang kewajiban Allah berbuat baik. Asyariyah percaya bahwa Allah memiliki kuasa untuk mengampuni dan tidak terikat pada tindakan tertentu terhadap makhluk-Nya.
Dalam menghadapi isu siksa dan pahala, penting untuk selalu berbaik sangka bahwa Allah akan memberikan ampunan kepada sebagian besar pendosa dan memasukkan orang takwa ke dalam surga. Keagungan ampunan Allah melebihi dosa-dosa manusia. Semoga pemahaman ini bermanfaat.