Lembaga jasa keuangan saat ini semakin berinovasi dengan mengembangkan produk multijasa, termasuk dalam bidang pembiayaan syariah pendidikan anak nasabah. Salah satunya adalah Bank Syariah Indonesia (BSI) yang memperkenalkan pembiayaan dengan akad murabahah investasi. Pembiayaan ini dilakukan melalui akad jual beli antara bank dan nasabah dengan tujuan investasi.
Produk tersebut menarik perhatian karena melibatkan akad murabahah yang sering terkait dengan akad jual beli. Namun, pertanyaan muncul mengenai apa yang sebenarnya diperjualbelikan dalam produk ini.
Namun, kali ini kita akan fokus pada pembiayaan pendidikan yang serupa. Bagaimana sistem akad fiqihnya, objek akadnya, dan strategi agar Lembaga Keuangan Syariah tetap menghasilkan keuntungan sehingga arus kas tetap lancar?
Latar Belakang Pembiayaan Pendidikan Pembiayaan pendidikan umumnya dikeluarkan karena nasabah tidak mampu membayar SPP anaknya tepat waktu di perguruan tinggi. Keterlambatan pembayaran SPP dapat berdampak pada partisipasi anak dalam kegiatan perkuliahan. Dalam situasi ini, nasabah meminta bantuan kepada Lembaga Keuangan Syariah (LKS) untuk menyelesaikan masalah ini.
Kedudukan SPP dalam Fiqih SPP merupakan pembayaran rutin yang harus dilakukan oleh wali mahasiswa setiap awal semester. Hal ini dianggap sebagai kewajiban dan pertanyaannya, bagaimana status SPP dalam perspektif fiqih?
Fakta lapangan menunjukkan bahwa mahasiswa tidak dapat mengikuti perkuliahan jika belum membayar SPP. Bahkan ada perguruan tinggi yang mengharuskan mahasiswa yang belum membayar SPP untuk mengajukan terminal. Artinya, mahasiswa tersebut tidak dianggap sebagai mahasiswa aktif dan tidak dapat mengikuti perkuliahan hingga membayar SPP.
Dari segi syariah, SPP berperan sebagai upah sewa bagi nasabah kepada lembaga terkait (PT). Nasabah di sini berperan sebagai penyewa.
Pengalihan Manfaat PT oleh LKS ke Nasabah Dalam konteks ini, LKS dapat menjadi penyewa PT dan elemen pendukungnya atas permintaan nasabah. Sebagai penyewa, LKS dapat menyewakan hak penggunaan PT dan elemen pendukungnya kepada nasabah.
Dengan demikian, LKS dapat memungut upah sewa lebih tinggi dari upah sewa asli yang diterimanya dari PT. Hal ini sesuai dengan pandangan mayoritas fuqaha bahwa pihak penyewa boleh memungut upah sewa lebih tinggi saat menyewakan kembali barang yang telah disewanya.
Dengan demikian, selisih upah sewa inilah yang menjadi sumber keuntungan bagi LKS dalam pembiayaan pendidikan.